REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Yanghee Lee menyatakan Myanmar tidak melakukan apa pun untuk membongkar sistem kekerasan dan penganiayaan terhadap Rohingya. Rohingya telah lama menjadi sasaran pembatasan pergerakan.
Kondisi tersebut membuat mereka sulit, bahkan tidak mungkin mengakses layanan kesehatan, pekerjaan dan pendidikan. Di sisi lain, tentara membenarkan tindakan keras itu sebagai cara membasmi pejuang Rohingya.
"Tetapi mereka (Myanmar) mungkin bermaksud menahan populasi Rohingya yang tersisa dan mereka (para Rohingya) yang memutuskan untuk pulang," katanya dilansir dari Aljazirah, Selasa (17/9).
Laporan dari misi pencarian fakta PBB telah menyerukan jenderal-jenderal penting Myanmar, terutama panglima militer Min Aung Hlaing untuk diadili atas pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran selama penumpasan Rohingya. Misi pencarian fakta tersebut didirikan Dewan HAM PBB pada Maret 2017.
Wanita Rohingya mendarat di pesisir perbatasan Bangladesh-Myanmar melalui Teluk Bengal, di Shah Porir Dwip, Bangladesh, (11/9/2017).
PBB menyatakan pada 2017 yang dihadapi masyarakat Rohingya adalah upaya genosida. Misi itu mengulang seruan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membawa Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau untuk membentuk pengadilan.
Laporan itu mengungkap daftar rahasia lebih dari 100 nama, termasuk pejabat, yang diduga terlibat dalam genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, di samping enam jenderal yang disebutkan secara terbuka tahun lalu. Laporan itu juga mengulangi seruan kepada pemerintah asing dan perusahaan memutuskan semua hubungan bisnis dengan militer, mendesak agar dilakukan moratorium pada investasi dan bantuan pembangunan di negara bagian Rakhine.