Rabu 18 Sep 2019 01:20 WIB

Rights Asia Desak Pemerintah Indonesia Atasi Karhutla

Pihak terkait harus membuat mekanisme kompensasi untuk dampak kebakaran hutan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Gita Amanda
DAMPAK KARHUTLA DI KALSEL
Foto: BAYU PRATAMA S
DAMPAK KARHUTLA DI KALSEL

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rights Asia mendesak Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait di Indonesia untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Rights Asia mendesak pemerintah untuk mengehentikan api termasuk soal ilegal dan metode pembukaan lahan yang tidak berkelanjutan dengan segala upayanya.

"Pihak terkait harus membuat mekanisme kompensasi untuk dampak kebakaran hutan dan lahan, terutama untuk kelompok masyarakat yang rentan dan marginal serta pemenuhan hak-hak mereka," ujar Rights Asia dalam rilis pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (17/9).

Baca Juga

Pihaknya juga mendesak untuk menghidupkan kembali mekanisme kerja sama regional dan internasional untuk kerangka kerja yang lebih strategis dan berkelanjutan untuk mencegah dan menghentikan kebakaran hutan dan kebakaran lahan. Rights Asia juga tengah mempertimbangkan tindakan hukum dengan tim regional yang terdiri dari pengacara Malaysia dan Indonesia.

"Kami juga tersedia jika korban membutuhkan kami dan segeralah menghubungi kami," ujar pernyataan Rights Asia.

Dalam resolusi 45/94 Majelis Umum PBB di Stockholm, bahwa semua individu berhak hidup dalam lingkungan yang memadai bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Resolusi itu menyerukan upaya yang ditingkatkan dalam memastikan lingkungan yang lebih baik dan lebih sehat.

Rio Declaration on Environment and Development, diadopsi pada akhir Konferensi 1992 Rio de Janeiro tentang Lingkungan dan Pembangunan, menyebutkan 10 prinsip bahwa akses ke informasi, partisipasi publik dan akses ke proses peradilan dan administrasi yang efektif, termasuk ganti rugi dan pemulihan, harus dijamin karena masalah lingkungan paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga negara yang bersangkutan, pada tingkat yang relevan.

Sementara  Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (16 Desember 1966), menjamin hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat (pasal 7 b) dan hak anak-anak dan remaja untuk bebas dari pekerjaan yang berbahaya bagi mereka dan kesehatan (pasal 10-3). Hak atas kesehatan yang terkandung dalam pasal 12 Kovenan secara tegas menyerukan kepada negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah untuk perbaikan semua aspek kebersihan lingkungan dan industri dan pencegahan, pengobatan dan pengendalian epidemi, endemik, pekerjaan, dan penyakit lainnya.

Perjanjian ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas yang disahkan pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur Malaysia, merumuskan bahwa, "Polusi kabut asap" berarti asap yang dihasilkan dari kebakaran lahan dan atau hutan yang menyebabkan efek buruk yang bersifat membahayakan kesehatan manusia, membahayakan sumber daya hayati dan ekosistem serta properti material hingga merusak atau mengganggu fasilitas dan penggunaan lingkungan yang sah lainnya. 

Perjanjian tersebut diamanatkan untuk mempelajari akar penyebab dan implikasi dari polusi kabut lintas batas. Selain itu perjanjian sebagai kebutuhan untuk mencari solusi untuk masalah yang diidentifikasi dan untuk lebih memperkuat kerja sama internasional untuk mengembangkan kebijakan nasional untuk mencegah dan memantau polusi kabut lintas-batas.

Rights Asia mengutip Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia hingga Sabtu (7/9) terdapat sejumlah titik api tinggi dan menengah di enam provinsi di Sumatera. Provinsi Riau dengan 201 titik api, Jambi 84 titik titik api, Sumatera Selatan 126 titik api, Kalimantan Barat 660 titik api, Kalimantan Tengah 482 titik api dan Kalimantan Selatan 46 titik api.

Badan Meteorologi dan Geofisika Indonesia (BMKG) telah mendeteksi sekitar 1.211 titik panas di sekitar Sumatra pada Rabu (11/9). Titik panas ini merupakan indikasi awal karhutla. 

Selanjutnya, dari data Stasiun BMKG Pekanbaru, satelit Terra Aqua mendeteksi titik api terbanyak berada di Provinsi Jambi dengan 496 titik api, Sumatera Selatan 305 titik api, Provinsi Riau 258 titik api, Provinsi Bangka Belitung 77 titik api, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat masing-masing dari 11 titik api, 10 titik api di Sumatra Utara, dan Bengkulu satu titik api.

Di Riau, khususnya dilaporkan 258 titik api, yang terdiri dari Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) yang mencapai 143 titik api. Kemudian Rights Asia mencatata, di Kabupaten Pelalawan ada 47 titik api, Indragiri Hulu (Inhu) 25 titik, Rokan Hilir (Rohil) 23 titik, Bengkalis 9 titik, Kuantan Singingi 3, Rokan Hulu 2, dan Kota Dumai 1 titik.

Selanjutnya, informasi dari bagian Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Ahad (8/9) menjelaskan, hasil pemantauan BMKG dan ASMC (Pusat Meteorologi Khusus ASEAN) yang mendeteksi kabut lintas batas, di wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. 

BNPB telah memastikan bahwa kabut asap karena karhutla tidak akan meluas ke wilayah Singapura dan Semenanjung Malaysia. Sehingga titik api di wilayah Kalimantan Barat itu menyebabkan kabut asap yang menyebar ke wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Riau 1-11 September 2019, jumlah penduduk lokal yang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan) adalah 9.931 orang dengan rincian; 1. Pekanbaru: 2.135 orang 2. Siak: 1.446 orang 3. Pelalawan: 562 orang 4. Kampar: 1.667 orang 5. Dumai: 1.718 orang 6. Kuantan Singingi: 163 orang 7. Rokan Hilir: 278 orang 8. Rokan Hulu: 807 orang 9 Indragiri Hulu: 211 orang 10. Indragiri Hilir: 521 orang 11. Kepulauan Meranti: 242 orang 12. Bengkalis: 181 orang.

Banyak korban akan muncul, tidak hanya dari dampak pada kesehatan tetapi juga dari sisi ke akses ekonomi, khususnya masyarakat adat yang tinggal di dan dekat hutan. Bayu dan anak-anak, orang tua, mereka yang sakit, wanita hamil, dan miskin  orang-orang, juga menyebabkan pendidikan anak-anak dan remaja yang terhambat, masalah mobilitas dan transportasi dan masalah lingkungan lainnya seperti air bersih yang tercemar.

Seperti yang dilaporkan oleh Kepala Divisi Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau menyatakan bahwa area hutan dan lahan yang terbakar di provinsi Riau sejak 1 Januari hingga 9 September 2019 berjumlah 6.464 hektare.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement