Kamis 19 Sep 2019 02:45 WIB

Perdamaian Semenanjung Korea Dinilai Sebagai Proses Rumit

Ada sejumlah tantangan dalam mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea.

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in bersalaman dengan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un di Pyongyang, Rabu (19/8).
Foto: Pyongyang Press Corps Pool via AP
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in bersalaman dengan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un di Pyongyang, Rabu (19/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdamaian di Semenanjung Korea merupakan suatu proses yang rumit, menurut tokoh diplomat dan akademisi dari Indonesia dan Korea Selatan. Hal itu merujuk pada berbagai tantangan dari kedua negara Korea untuk mencapai perdamaian yang dipaparkan dalam acara Indonesia-Korea Conference 2019 di Jakarta, Rabu.

Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) sekaligus pemimpin kelompok kunjungan ke Korea Utara, menyebut bahwa perdamaian itu akan berpengaruh terhadap pandangan diri Korea Utara. Ia menyatakan bahwa reunifikasi (penyatuan kembali) akan mengusik narasi Korea Utara tentang siapa dirinya dan siapa Korea Selatan.

Baca Juga

"Narasi mereka adalah ‘kami yang terbaik, sedangkan Korea Selatan pengkhianat’ dan sebagainya,” kata Dino.

Padahal, menurut Dino, itu merupakan narasi yang salah. Ia menjelaskan, masyarakat Korea Utara tidak memahami jika di luar mereka, Korea Selatan menduduki urutan ke-11 negara ekonomi terbesar dunia.

“Bagaimana hal ini akan ditangani? Apakah reunifikasi bisa diterima tanpa Korea Utara kehilangan narasinya sementara itulah sumber legitimasi politik selama beberapa generasi,” kata dia.

Selain itu, menurut Dino, terdapat gap persepsi yang besar tentang bagaimana Korea Utara melihat Korea Selatan, bahkan apa maksud dari Amerika Serikat (AS) dan Jepang, yang tidak mendekati suatu kebenaran.

“Korea Selatan sudah menjadi negara independen. Mereka tidak tunduk pada AS. Semestinya gap persepsi ini ditutup jika ingin proses perdamaian terus bisa berlanjut,” ujar Dino.

Sementara itu, dari sisi Korea Selatan, akademisi Universitas Global Handong, Park Won-gon, menjelaskan bahwa ada perbedaan pendekatan dari dua negara Korea serta pihak ketiga dalam proses perdamaian di Semenanjung Korea. Korea Utara, menurut Park, bisa menggunakan pendekatan nuklir sebagai senjata mereka dan dengan begitu AS juga mungkin melancarkan tekanan maksimal, termasuk serangan militer.

Hal ini membuat negara-negara itu sulit mencapai titik temu pendekatan yang bisa digunakan.

“Kebijakan Korea Selatan adalah membuat Korea Utara sebagai ‘negara yang normal’ yang akan melakukan pendekatan tanpa konfrontasi militer, hanya dengan dialog, kesepakatan,” kata Park.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement