REPUBLIKA.CO.ID, LYON -- Interpol mendeteksi keberadaan komplotan tersangka terorisme kelas kakap di wilayah mediterania. Keberadaan mereka telah diketahui dalam enam minggu terakhir.
Seperti dilansir dari BBC, Jumat (20/9), Interpol telah melakukan lebih dari 1,2 juta kali pencarian di pelabuhan enam negara yang masuk dalam wilayah Mediterania. Pencarian itu dilakukan antara 27 Juli hingg 8 September 2019.
Pencarian itu disebut dengan Operasi Neptunus II yang fokus pada rute sibuk antara Afrika Utara dan Eropa Selatan. Hasil investigasi memberikan 31 petunjuk terkait keberadaan para teroris, kata sumber Interpol.
Selama operasi, Interpol menggunakan basis data yang dimiliki untuk mengetahui tanda-tanda aktivitas ilegal. Seperti misalnya dokumen perjalanan yang tidak resmi maupun kendaraan curian.
Pejabat pemerintahan dari Aljazair, Prancis, Italia, Maroko, Spanyol, dan Tunisia juga ikut membantu pencarian menggunakan petunjuk dari Interpol. "Ketika informasi dibagi antar wilayah melalui jaringan Interpol di tingkat global, setiap pemeriksaan dan pencarian acak akan membantu proses investasi terorisme," kata Sekretaris Jenderal Interpol, Jurgen Stock.
Ia mengatakan, cara ini adalah strategi yang diterapkan Interpol untuk menganggu pergerakan individu-individu yang dicurigai sebagai buronan terorisme.
Meski telah melakukan operasi dengan cukup luas dan senyap, Interpol belum dapat mengungkapkan kewarganegaraan para tersangka. Interpol juga belum menjelaskan lebih detail kasus-kasus yang melekat pada teroris yang bersangkutan.
Secara terpisah, Perancis dan Italia telah menerapkan sistem baru untuk memperketat pengawasan lalu lintas para imigran. Itu dilakukan lantaran adanya lonjakan jumlah imigran yang masuk ke wilayah Uni Eropa.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menuturkan, ratusan imigran tiba di Italia dan Yunani. Kebanyakan dari mereka bepergian menggunakan kapal dan perahu dari Libya dan Turki.