Sabtu 21 Sep 2019 14:10 WIB

Partai Arab Israel Kemungkinan Pimpin Oposisi di Parlemen

Suara Partai Arab Joint List menempati urutan ketiga terbanyak dalam pemilu Israel.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Pemimpin Partai Arab Joint List Ayman Odeh memberikan suaranya dalam pemilihan parlemen di Haifa, Israel, Selasa (17/9).
Foto: AP Photo/Ariel Schalit
Pemimpin Partai Arab Joint List Ayman Odeh memberikan suaranya dalam pemilihan parlemen di Haifa, Israel, Selasa (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, HAIFA -- Partai-partai Arab Israel akan menjadi blok non-pemerintah terbesar di parlemen Israel. Mereka bahkan dapat memimpin oposisi. Hal itu bisa terjadi jika pemerintahan gabungan terbentuk dari pemilihan parlemen, Selasa lalu.

Peningkatan jumlah pemilih membuat Partai Arab Joint List menggaet 13 kursi dari 120 kursi Knesset. Joint List menjadi partai terbesar ketiga yang mendapatkan kursi setelah Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu dengan 31 kursi dan Partai Blue and White pimpinan Benny Gantz dengan 33 kursi.

Baca Juga

Jika pemerintah gabungan dibentuk, Joint List yang dipimpin oleh Ayman Odeh akan menjadi kelompok oposisi terbesar di parlemen. Ini adalah kemungkinan yang realistis meskipun Gantz menolak undangan bergabung dari Netanyahu.

Partai Arab Joint List memang tidak pernah memiliki kursi di pemerintahan Israel sejak lama. Namun, jika Odeh (44 tahun) menjadi pemimpin oposisi, ia akan menerima penjelasan bulanan dari badan intelijen Mossad, bertemu dengan kepala negara yang berkunjung, dan fasilitas lain.

Hal ini akan memberikan saluran untuk menyuarakan keluhan Arab soal diskriminasi terhadap mereka. Selain itu, memberikan platform yang lebih besar bagi partai-partai Arab yang berbeda dengan suara mayoritas di banyak sisi politik.

"Ini adalah posisi menarik, belum pernah dipegang oleh seseorang dari populasi Arab. Ini memiliki banyak pengaruh," ujar Odeh.

Kendati demikian, meskipun Joint List akan menjadi kelompok tunggal terbesar, partai-partai oposisi lain yang digabungkan akan memiliki cukup kursi untuk menggagalkan pengangkatannya melalui suara mayoritas absolut.

"Tidak mungkin pihak-pihak lain akan setuju menjadikan Ayman Odeh sebagai kepala oposisi, dan memberikan pengakuan dan legitimasi komunitas kami," kata seorang anggota parlemen Arab dari faksi Hadde Odeh, Aida Touma-Sliman.

Anggota parlemen Arab sering menyerukan diakhirinya pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Gaza (negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya dan pembongkaran permukiman Israel di Tepi Barat). Komunitas Arab di Israel adalah keturunan Palestina yang tetap tinggal di Israel setelah didirikan pada 1948.

Beberapa di antara generasi muda secara terbuka mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Palestina. Jumlah mereka 1,9 juta dari sembilan juta penduduk Israel.

Namun, mereka sering mengeluhkan diskriminasi di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Mereka umumnya tinggal di kota-kota seperti Nazareth dan Acre di utara dan kota-kota Badui di gurun selatan Negev.

Kelompok hak asasi Mossawa Center mengatakan, anggaran negara Israel sering kali berpihak pada orang Yahudi dengan mengalokasikan lebih banyak dana untuk daerah dan sekolah Yahudi daripada ke warga Arab. Sekitar 47 persen warga Arab hidup dalam kemiskinan, jauh di atas rata-rata nasional 18 persen.

Direktur Urusan Luar Negeri Partai Likud, Eli Hazan, membantah rencana investasi 4,19 miliar dolar AS untuk sektor Arab selama parlemen terakhir adalah komitmen terbesar dalam sejarah Israel. Dalam pemilihan Selasa, Odeh dan kelompoknya dari empat partai Arab menjalankan front persatuan dan jumlah pemilih Arab meningkat tajam. Itu membantu mereka mendapatkan kembali kursi yang hilang pada April ketika mereka terbelah dan jumlah pemilih anjlok.

Joint List menunjukkan penampilannya yang lebih kuat pada pemilihan putaran kedua sebagai kemenangan kampanye yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap publik Arab. Netanyahu membuat tuduhan penipuan pemilih di komunitas Arab sebagai masalah dalam kampanye pemilihannya.

Dia sampai-sampai berusaha menyebarkan kamera ke pusat-pusat pemungutan suara negara. Menurut pemimpin Arab, langkah Netanyahu adalah upaya menakuti para pemilih. Pengadilan tinggi Israel menolak mengizinkan pemasangan kamera.

Seorang guru olahraga berusia 55 tahun dari Haifa, Eid Jbaili mengatakan ia tidak ikut pemilihan pertama April lalu, namun ia memilih pada putaran kedua. Alasannya, karena para pemimpin komunitasnya menunjukkan mereka dapat memberi persatuan dalam menghadapi kesulitan.

Meski demikian, Jbaili tidak yakin seorang pemimpin oposisi Arab akan mampu memberikan apa pun di luar kemenangan simbolis kecil bagi komunitasnya. "Kami masih belum akan menjadi pengambil keputusan di negara ini," katanya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement