Ahad 22 Sep 2019 05:31 WIB

Pengalaman Samuel Adiprakoso Melistriki Wilayah Terpencil

Tak terbayangkan keseharian tanpa listrik di era modern.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
DW/Sorta Caroline
DW/Sorta Caroline

Tak terbayangkan keseharian tanpa listrik di era modern. Namun ini adalah realita yang dihadapi sebagian besar negara di Afrika, salah satunya Tanzania.

Hingga 2018, hanya 32,8 persen penduduk yang memiliki akses listrik. Menyediakan listrik tak sekedar menginstal jaringan pada suatu wilayah atau sekadar menyediakan lampu hemat energi bagi seluruh penduduk setempat.

Bagi Samuel dan MicroEnergy, penyediaan listrik perlu diawali dengan studi akan kebutuhan listrik wilayah setempat. Kebutuhan listrik dari satu desa ke desa lainnya sangatlah berbeda.

Ada desa nelayan yang membutuhkan listrik dan kulkas hemat energi untuk penyimpanan ikan hasil tangkapan. Ada desa petani yang membutuhkan listrik untuk alat penggilingan padi.

Listrik membantu menunjang perekonomian suatu daerah namun perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan daerah tersebut. Lantas bagaimana cara menelusuri kebutuhan listrik suatu daerah dan kemampuan masyarakat untuk membayarnya? Mari ikuti pengalaman Samuel Adiprakoso bersama MicroEnergy dalam merintis listrik wilayah terpencil.

Deutsche Welle: Bagaimana perjalanan Samuel akhirnya bergabung dengan MicroEnergy International hingga sekarang menjadi konsultan energi off-grid?

Samuel Adiprakoso: Awalnya saya dua tahun studi di Hochschule Mannheim ambil studi Power Engineering. Setelah dua tahun kok rasanya ‘kurang sreg ya kalau terlalu teknik' inginnya lebih ke arah finansial bisnis dalam proyek energi terbarukan. Lalu cocok dengan program di SRH Hochschule Berlin dan melihat Berlin yang punya banyak kesempatan seperti start-up. Pindah ke Berlin, tahun 2016 lulus kuliah dan saat itu ada Winterschool, acara networking job-matching mahasiswa dengan perusahaan.

Tertarik sekali saat ngobrol dengan tim MicroEnergy International karena mereka membuat proyek untuk orang-orang di daerah terpencil yang pendapatannya bisa dibawah dua dollar AS per hari. ‘Bagaimana caranya menyediakan energi untuk orang- orang itu?', lalu saya mulai coba melamar untuk magang di MicroEnergy Internasional.

Beruntung rasanya bisa dapat kesempatan magang setelah melewati tiga tahapan tes dari assessment center, presentasi ide, hingga mendesain sebuah workshop. Dari magang jadi pekerja lepas lalu lanjut jadi trainee selama enam bulan. Setelah trainee naik jadi konsultan junior dan Februari awal tahun ini jadi konsultan.

Apa solusi elektrifikasi terbaik untuk wilayah terpencil?

Dasarnya elektrifikasi market itu ada tiga on-grid (listrik dalam jaringan), close to grid (listrik dekat dengan jaringan), dan off-grid (listrik di luar jaringan). On-grid itu seperti halnya di perkotaan, memiliki jalur transmisi dengan kualitas stabil 24/7 (red. 24 jam selama 7 hari). Listrik ini bebas dikoneksikan dengan peralatan rumah tangga apa pun.

Kalau close to grid itu dekat dengan transmisi tapi belum bisa terkoneksi karena harus membayar one-time connection cost yang biasanya adalah persentase biaya dari tiang, meter, dan kabel yang menghubungkan jaringan distribusi terdekat menuju gedung atau bangunan. Ada harga yang ditanggung pemerintah ada juga harga yang ditanggung konsumen privat. Kalau di Afrika dan Asia, berdasar data energy IEA harga tersebut berkisar antara 2 sampai 400 dollar AS.

Alasan lain market on-grid belum bisa terkoneksi adalah pasokan yang kurang bisa diandalkan,masih banyak pemadaman bergilir sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Ini yang cenderung membuat penduduk di wilayah close-grid malas untuk terhubung. Mereka lebih memilih alternatif energi yang murah dan andal.

Kalau off-grid market itu benar-benar diluar batas kedua market sebelumnya. Biasanya 10 sampai 15 kilometer dari grid terdekat atau bisa lebih jauh.

Nah untuk solusi yang cocok untuk off-grid, ada empat produk yang biasanya kami rekomendasikan. Solar PicoPV (kapasitas 5W-15W) yang cukup untuk beberapa lighting dan radio. Solar Home System (kapasitas 15W-1KW) yang cukup untuk lighting, radio, charge handphone dan nonton TV.

Solar Stand Alone System (kapasitasnya hingga 10KW), ini biasanya untuk industri dan konsumen komersial. Diatas ketiga kapasitas ini barulah ada jaringan mini atau mini-grid yang bisa menyediakan listrik sebagus on-grid 24/7.

Mini-grid terhubung dengan sumber energi terbarukan seperti panel surya atau kincir angin, storage system (baterai), inventer device, juga ada diesel genset sebagai tenaga cadangan. Di beberapa market, menurut perbandingan Levelize Cost of Electricity, investasi mini-grid sekarang tergolong lebih murah dibanding merintis jaringan on-grid.

Bagaimana teknis elektrifikasi di lapangan?

Mengembangkan mini-grid itu sangat berbeda dengan Independent Power Producer (IPP), dimana IPP fokus ke pengembangan pembangkit listrik dengan ukuran dan kapasitas besar. Pengembang akan punya power purchase agreement (PPA) dengan negara. Selama katakanlah 20 tahun mereka akan menyuplai energi sebanyak mungkin, mengusahakan pendapatan sebanyak mungkin.

Kalau mini-grid itu, kliennya bukan langsung pemerintah tapi orang-orang yang tidak mampu yang berada di sekitar area mini-grid. Sehingga kita harus benar-benar akurat saat mendesain sistemnya, kita perlu mempertimbangkan kebutuhan energi yang sebenarnya orang-orang ini butuhkan, sekarang dan di masa depan.

Tidak bisa kita langsung kasih aliran listrik 24/7. Jadi pertama kita perlu meriset kebutuhan energinya. Kita sedang kembangkan open-sourced monitoring platform namanya ME Karana dengan sinyal GPS yang bisa kita pantau dari Berlin.

Jadi selain lewat survei kita bisa taruh ME Karana sebagai smart meter di rumah penduduk untuk tahu berapa sih kebutuhan listrik mereka. Selain untuk konsumsi energi, ME Karana ini nanti juga bisa dihubungkan dengan sensor-sensor lain untuk mengukur kecepatan angin, kelembapan udara, level emisi CO2, kualitas udara dan lain sebagainya. Intinya ME Karana ini akan menjadi perangkat agnostik yang bisa diintegrasikan dengan teknologi off-grid yang berbeda-beda.

Sesudah kita menaksir kebutuhan energinya kita juga menaksir kemampuan membayar dari konsumen ini. Caranya? Survei. Kita tanya mereka dulu sebelumnya bayar berapa untuk sumber listrik? Nah di sini kita lihat berapa pembayaran mereka sebulan untuk sumber energi di rumah mereka. Misalnya mereka pakai pembakaran kayu, lampu minyak kerosin, atau lilin untuk sarana penerangan. Dengan ini kita bisa ukur kemampuan bayarnya.

Setelah itu kita bikin model finansial dari mini-gridnya. Melalui kebutuhan energi kita cari tarif yang bagus untuk bisnis mini-gridnya, sehingga bisa terus beroperasi secara optimal, tanpa bantuan grant dari development aid organizations. Tarifnya harus cocok dengan kebutuhan Capital Expenses (pengeluaran modal) dan Operational Expenses (pengeluaran operasional) bisnis mini-gridnya dan juga kemampuan bayar dari customer. Ini sangat tricky.

Yang juga tricky adalah gi mana set-up bisnisnya, siapa yang akan punya bisnisnya, siapa yang punya asetnya, siapa yang mengurus, siapa yang akan mengoperasikan. Apa kita melatih seseorang, lalu taruh di desa itu atau kita latih orang desa yang punya sumber energi itu juga.

Setelah itu akan ada pertanyaan lagi soal tanggung jawab membayar. Jika aset dikelola langsung oleh orang-orang yang berasal dari desa itu dan beberapa kepala keluarga menunda pembayaran listrik di akhir bulan, alhasil ini akan sulit bagi pengelola yang katakanlah tetangga mereka sendiri. Di wilayah terpencil hubungan sosialnya sangat erat sekali.

Untuk itu, solusi pay as you go-lah yang paling tepat. Smart meter yang dipasang di setiap konsumen sistemnya lewat pembelian token pada vendor. Mereka akan dapat kode dan kodenya dimasukkan ke smart meter trus mereka bisa mendapat listriknya. Baiknya dari sistem ini, kita cut middle man, harga lebih murah dan dalam pelaksanaannya juga lebih mengikat. Kalau tidak bayar, ya listrik mati.

Apa tantangan terbesar elektrifikasi di lapangan?

Tantangan tersulit proyek adalah lokal konteks, medannya, dan cara untuk meyakinkan para pemegang kekuasaan. Lokal konteks, dimana kita membuat survei dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat kultur-sensitif. Untuk kemampuan membayar listrik kita akan tanya, "Pendapatan berapa per-bulan?” ini sulit karena kompetisi di desa sangat tinggi, kalau yang lain tahu dia menghasilkan sekian, yang lain tidak mau kalah, jadi sulit dapat data yang benar.

Jadi kita harus kreatif dari penyusunan pertanyaan. Dari pada menanyakan berapa pendapatan kita lebih baik tanya berapa produksinya per bulan (jika mereka petani atau nelayan) nah dari situ kita telusuri juga harga produknya, jadi dapatlah sumber penghasilannya.

Kedua itu medan, untuk menuju ke sana sulit sekali! Seperti jalan rusak misalnya dari yang hanya perlu 30 menit jadi beberapa jam kadang bisa seharian. Ini jauh dari teknologi, komunikasi dengan tim Jerman sangat sulit.

Ketiga, meyakinkan para pemegang kekuasaan. Proyek kita memberikan solusi eletrifikasi from the bottom of the pyramid. Kalau dilihat sekilas, mungkin off-grid market sebenarnya tidak terlalu profitabel, karena kempuan membayar dari konsumen yang tergolong rendah karena kondisi ekonomi.

Nah kita perlu membuktikan kepada pemerintah, institusi, bank, investor kalau sebenernya potensi dari off-grid market itu sangat besar apabila ada external support yang memadai.

Ada rencana merintis proyek di Indonesia?

Kita baru saja mengajukan lamaran satu proyek namanya CARE (Towards

Circular Indonesian Agriculture bekerja sama dengan Fraunhofer Institute di Jerman dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya. Kita akan testing dan pakai teknologi gasifier untuk mengolah gabah padi jadi beras.

Awalnya dari penggilingan gabah, sekam padi akan terpisah dari beras. Nah dari proses penggilingan ini akan banyak ampas-ampasnya. Ampas ini akan diproses dengan teknologi gasifier untuk kemudian lanjut menggiling beras.

Dalam teknologi gasifier ada proses pembakaran yang menghasilkan gas sintetik yang akan dipakai sebagai ‘bensin' untuk menghasilkan energi listrik. Cara ini memang belum total menggunakan energi terbarukan namun sudah bisa mengurangi penggunaan diesel dan genset. Kami ingin mempromosikan konsep circular ekonomi itu sendiri di mana ampas tidak langsung dibuang namun bisa di proses ulang.

Kita sedang menunggu hasil dari Kementrian Energi dan Riset Jerman untuk mengembangkan proyek ini selama tiga tahun dimulai dari awal 2020. Mudah-mudahan akhir tahun ini ada kabar baik.

Dengan MicroEnergy, saya juga berusaha masuk ke mini-grid atau pasar Solar-Home-System di Indonesia. Potensi off-grid market di Indonesia memang besar, namun sudah banyak kompetitor lokal. Harga untuk konsultansi juga sudah terbilang murah, jadi cukup sulit untuk MicroEnergy masuk.

Rencana karier ke depannya?

Saya sudah diterima di Technishce Universität Berlin jurusan Energy Management dan akan mulai studi oktober 2019 nanti. Harapannya sih setelah master bisa bekerja di on-grid company untuk pengalaman di large scale utility juga. Nanti inginnya sih kembali ke Indonesia dan bekerja di sana. Lagipula di Jerman sudah maju, ingin berkarya di Indonesia. (ed: yp)

Wawancara dilakukan oleh Sorta Caroline dan telah diedit sesuai konteks.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement