Senin 23 Sep 2019 09:11 WIB

Pilpres Afghanistan Dibayangi Ketakutan

Kami ingin pemilihan yang bebas dan adil.

Kaum perempuan Afghanistan menghadiri kampanye salah satu kandidat presiden, Ashraf Ghani, di Kabul, Afghanistan, Senin (5/8). Ghani akan bertarung untuk jabatan presiden kedua kalinya.
Foto: AP Photo/Rafiq Maqbool
Kaum perempuan Afghanistan menghadiri kampanye salah satu kandidat presiden, Ashraf Ghani, di Kabul, Afghanistan, Senin (5/8). Ghani akan bertarung untuk jabatan presiden kedua kalinya.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Afghanistan akan mengadakan pemilihan presiden baru, pekan ini. Warga Afghanistan khawatir pemilihan tersebut dirusak oleh kekerasan dan penipuan, seperti yang terjadi selama dekade terakhir.

Dua pekan lalu, belasan orang terbunuh ketika Taliban meratakan sebuah rumah sakit dalam serangannya di selatan. Ada juga serangan pesawat tak berawak milik Amerika Serikat (AS) yang menabrak warga setempat saat sedang memanen kacang pinus di wilayah timur.

Pemilihan presiden juga dibayangi oleh kelanjutan upaya kontroversial AS untuk menegosiasikan penarikan pasukan dari Afghanistan. Siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden akan bertanggung jawab memperluas kesepakatan untuk melindungi pasukan keamanan Afghanistan. Presiden terpilih dinilai juga perlu menegosiasikan perihal gencatan senjata.

"Memilih ketika ada situasi yang buruk, berarti Anda gila. Saya tidak gila, tempat pemungutan suara tidak aman," kata seorang pengemudi taksi, Qasim Walizada, seperti dilansir di the Guardian, Ahad (22/9).

Ada 18 kandidat presiden Afghanistan, tetapi hanya dua orang berpeluang. Keduanya, yakni petahana Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah. Banyak analis memprediksi, pemilihan kali ini tidak berbeda jauh dengan kontes pada 2014. Perselisihan dan kecurangan hasil pemilihan diduga akan terulang.

"Itu akan memiliki konsekuensi yang sangat mengerikan bagi Afghanistan, terutama karena pemilihan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kelanjutan dari proses demokrasi dan lembaga dalam negosiasi dengan Taliban," kata analis dari Afghanistan Analysts Network (AAN) Ali Yawar Adili.

Direktur Jenderal Kantor Publik dan Urusan Strategis Afghanistan Waheed Omer mengatakan, jumlah warga yang terdaftar sebagai calon pemilih sekitar sembilan juta. Dia tidak dapat memprediksi tingkat partisipasi dalam pemilihan kali ini. "Tetapi, kami berharap dan melakukan yang terbaik, setidaknya lebih banyak pemilih dibandingkan pemilihan parlemen," kata dia.

Sumber-sumber diplomatik mengatakan, jumlah pemilih yang terdaftar mencerminkan keoptimisan. Sebab, di beberapa kota, suara untuk pemilihan parlemen sempat berkurang tahun lalu sebagai dampak ancaman Taliban di mana-mana.

Di beberapa daerah yang aman, beberapa pemilih sudah muak dengan Ghani dan Abdullah. Pasalnya, mereka dinilai gagal membendung kekerasan, mencegah penurunan ekonomi, dan tindak korupsi yang terjadi di Afghanistan. "Tidak ada kandidat yang bisa dipercaya," kata seorang guru di Provinsi Balkh Utara, Sabara Akhlaqi.

Dia mengatakan, siapa pun pemenangnya akan mengisi kantong pribadinya dengan uang negara. "Jika memilih mereka, kita akan berbagi tanggung jawab atas apa yang mereka lakukan," ujarnya.

photo
Lokasi ledakan di Kabul, Afghanistan.

Wakil Menteri Dalam Negeri Afghanistan Jenderal Khoshal Sadat mengatakan, pemerintah akan melakukan operasi keamanan besar. Mereka akan mengerahkan 70 ribu polisi untuk melindungi tempat pemungutan suara.

Jari pemilih yang telah memberikan suaranya akan dicelupkan tinta dan sulit dihapus. Ini untuk mencegah mereka memberikan suara berkali-kali. Tapi, hal tersebut berisiko bagi orang-orang yang kembali ke daerah yang dikuasai Taliban. Jari pemilih yang bertinta dianggap sebagai tanda pembangkangan. Dalam pemilihan lalu, Taliban telah memotong jari orang-orang yang memberikan suara.

Di lain sisi, AS telah menarik dana bantuan 160 juta dolar AS untuk Afghanistan. Keputusan ini tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi selama masa pemilihan presiden. "Kami ingin pemilihan yang bebas dan adil," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.

Dia menyebut, AS akan maksimal mendukung Afghanistan. "Kami membutuhkan setiap aktor di wilayah ini, setiap pemimpin, setiap warga negara di Afghanistan untuk bekerja menuju tujuan itu," ujar Mike.

Afghanistan menyediakan sebuah sistem biometrik baru untuk memverifikasi identitas pemilih. Tujuannya, untuk mengurangi pemilih fikstif. Namun, kelompok masyarakat sipil mengingatkan mesin tersebut tidak dapat mencegah terjadinya duplikat suara. Panitia pelaksana pemilihan presiden belum memperoleh pelatihan untuk mengoperasikannya. ed: qommarria rostanti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement