REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diterbitkan Ahad (22/9) memperingatkan dunia untuk mencegah bencana iklim sebagai akibat dari pemanasan yang tak terkendali. Laporan juga menunjukkan, 2019 merupakan tahun yang mengalami suhu terpanas sejak 2015.
Laporan tersebut muncul menjelang KTT iklim PBB pada Senin (23/9). Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres akan mendorong negara-negara untuk meningkatkan target pengurangan gas rumah kaca.
Laporan itu menyoroti kebutuhan mendesak akan tindakan nyata dalam menghentikan pemanasan global dan efek terburuk dari perubahan iklim. Menurut laporan PBB yang juga disusun oleh Organisasi Meteorologi Dunia, suhu global rata-rata antara 2015 dan 2019 berada di periode terpanas.
"Periode saat ini diperkirakan 1,1 derajat Celcius di atas masa pra-industri (1850-1900) dan 0,2 derajat Celsius lebih hangat dari 2011-2015", kata laporan tersebut dikutip laman Aljazirah, Senin. Dalam empat tahun terakhir sudah menjadi terpanas sejak pencatatan yang dimulai pada 1850.
"Saya pikir bahayanya semakin besar, yang artinya kita memiliki lebih sedikit waktu untuk menyelesaikan masalah daripada yang kita pikirkan. Pada dasarnya jika kita ingin mengatasi perubahan iklim, kita telah berhenti membakar bahan bakar fosil," ujar Ketua Anti Karbon grup E3G, Tom Burke.
Pekan lalu Guterres mengatakan, dunia gagal mengatasi perubahan iklim. Hal itu dilihat berdasarkan laporan terbaru yang menguraikan sejauh mana kesenjangan antara apa yang diperlukan dan apa yang terjadi terlihat semakin melebar. Karbon dioksida tumbuh dua persen pada 2018 yang mencapai rekor tertinggi 37 miliar ton.
Lebih penting lagi, belum ada tanda untuk mencapai apa yang dikenal sebagai "emisi puncak", titik di mana level akan mulai turun, meskipun hal itu tidak tumbuh pada tingkat yang sama dengan ekonomi global.
Perjanjian Paris 2015 telah dibuat untuk menjadi komitmen negara-negara menetapkan target nasional untuk mengurangi emisi mereka. Langkah itu untuk membatasi kenaikan suhu jangka panjang sebanyak 2 derajat Celcius atau 1,5 derajat Celcius. Suhu tersebut merupakan tolok ukur yang akan membatasi dampak pemanasan pada sistem cuaca dunia.
Kendati demikian, bahkan jika semua negara memenuhi tujuan yang mereka tentukan sendiri, dunia akan menghangat 2,9 derajat Celcius hingga 3,4 derajat Celcius. Oleh karena itu, target saat ini perlu tiga kali lipat untuk memenuhi tujuan 2 derajat Celcius dan meningkat lima kali lipat guna memenuhi tujuan 1,5 derajat Celcius. Secara teknis, target itu masih mungkin.
Ilmuwan iklim NASA Cynthia Rosenweig mengatakan, jika dunia menjaga suhu pada tujuan 1,5 - 2 derajat Celcius, maka 420 juta lebih sedikit orang akan terkena gelombang panas dan 10 juta lebih sedikit akan rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Pada 2018, karbon dioksida global adalah 407,8 bagian per juta (ppm), 2,2 ppm lebih tinggi dari 2017 dan ditetapkan untuk mencapai atau melebihi 410 ppm pada 2019.
"Terakhir kali atmosfer bumi mengandung 400 bagian per juta CO2 adalah sekitar 3-5 juta tahun yang lalu," kata laporan itu. Pada saat itu, suhu permukaan rata-rata global lebih hangat 2-3 derajat Celcius, lapisan es di kedua kutub mencair, dan lautan 10 hingga 20 meter lebih tinggi.
Fenomena alam besar lainnya terkait pemanasan global termasuk es di Kutub Utara telah menurun pada tingkat 12 persen per dekade selama 40 tahun terakhir, dengan titik terendah antara 2015 dan 2019. Secara keseluruhan, jumlah es yang hilang dari lapisan es Antartika meningkat enam kali lipat setiap tahun antara 1979 dan 2017, sementara hilangnya gletser untuk 2015-2019 juga merupakan yang tertinggi untuk periode lima tahun.
Kenaikan permukaan laut juga semakin cepat seperti proses pengasaman. Peningkatan keasaman sebesar 26 persen terjadi saat ini dibandingkan dengan periode pra-industri. Hal tersebut merupakan akibat dari menyerap peningkatan karbon dioksida di atmosfer.
Laporan itu juga menemukan gelombang panas sebagai bahaya cuaca paling mematikan pada periode 2015-19, yang mempengaruhi semua benua dan membuat rekor suhu nasional baru. Musim panas 2019, yang termasuk bulan terpanas yang pernah tercatat (Juli). Dunia menyaksikan kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kutub Utara. Pada Juni, suhu panas memancarkan 50 megaton karbon dioksida.