Selasa 24 Sep 2019 08:28 WIB

Selamat Jalan, Pizol!

Pizol harus menyerah pada perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya suhu global.

Gletser mencair (ilustrasi).
Foto: IST
Gletser mencair (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Lintar Satria

Ratusan aktivis lingkungan dan iklim mengadakan upacara perpisahan dan penghormatan terakhir kepada Pizol di Swiss, Senin (23/9). Pizol bukan nama siapa pun.

Pizol adalah gletser yang akhirnya diperkirakan akan menghilang dalam waktu beberapa dekade. Pizol harus menyerah pada perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya suhu global.

Gletser Pizol yang sekarang luasnya kurang dari sepersepuluh kilometer persegi terletak di Glarus Alps, timur Swiss. Berada sekitar 2.600 meter di atas permukaan laut, gletser itu diperkirakan akan sepenuhnya hilang pada tahun 2030.

"Sudah tak terhitung berapa kali saya mendaki ke sini. Rasanya seperti teman baik tengah sekarat," kata glasiologis Universitas ETH Zurich, Matthias Huss, kepada orang-orang yang hadir dalam upacara tersebut, Senin.

Saat kali pertama para ilmuwan mencatat luasnya pada tahun 1987, gletser ini sebesar 0,32 kilometer persegi. Kini gletser ini hanya seluas 0,06 kilometer persegi. Buletin Global Glacier Change melaporkan, empat tahun lalu gletser ini seluas 0,1 kilometer persegi.

Upacara di Swiss yang memiliki 1.500 gletser mengikuti acara pada bulan Agustus lalu, ketika aktivis dan masyarakat Islandia mengadakan acara perpisahan pada gletser yang mencair di negara itu.

Gerakan aktivisme perubahan iklim di Swiss makin meningkat. Pada tahun lalu puluhan orang ditangkap karena menghalangi pintu masuk bank-bank yang mereka anggap turut membiayai proyek-proyek energi bahan bakar fosil.

Setelah petisi yang disebut Inisiatif Gletser mengumpulkan 120 ribu tanda tangan, kemungkinan besar negara yang dikenal dengan demokrasi langsungnya itu akan segera memilih iklim netral.

"Sekarang kami tidak bisa menyelamatkan gletser Pizol. Namun, jika orang-orang bertindak sekarang, mungkin banyak dampak negatif perubahan iklim dapat diatasi. Mari lakukan semua yang bisa dilakukan. Jadi, ratusan tahun mendatang Anda bisa tunjukkan gletser di Swiss kepada anak-anak dan cucu-cucu Anda," kata Huss.

Di pentas PBB

Di pelataran global, isu lingkungan dan pemanasan global menjadi fokus dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York. Sidang bertajuk Climate Action Summit ini dibuka pada Senin (23/9) dan berakhir Ahad (30/9).

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengajak dunia untuk bersatu. Bumi yang makin memanas, ketegangan mulai dari Teluk Persia sampai Afghanistan, meningkatnya nasionalisme, kesenjangan, dan intoleransi menjadi bahasan Sidang Umum PBB pekan ini.

"Dunia yang penuh keributan membutuhkan kerja sama dibandingkan sebelumnya, tetapi hanya mengatakannya hal itu tidak akan terjadi. Mari hadapi, tidak ada waktu untuk kalah," kata Guterres.

Hingga berita ini ditulis, 64 pemimpin negara anggota PBB datang ke New York untuk menghadiri sidang PBB ini. Angka itu memang tak banyak sebab ada lebih dari 190 negara yang menjadi anggota PBB. Mereka yang juga hadir dalam sidang kali ini merupakan para pemimpin negara kepulauan kecil yang negaranya paling terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

Pekan lalu Guterres sudah mengulangi peringatannya tentang ketegangan dunia yang makin memanas. Ia mengatakan, saat ini dunia mengalami beberapa momen krusial. "Darurat iklim...mengancam siapa pun, apa pun," katanya.

Untuk menegaskan tingkat keseriusan masalah iklim ini, badan PBB World Meteorological Organization (WMO) merilis laporan ilmiah pada Ahad (22/9). Isinya, dalam beberapa tahun terakhir tampak ada pemanasan global, peningkatan permukaan air laut, dan polusi karbon. Semua unsur itu menunjukkan terjadi percepatan.

Guterres ingin seluruh negara menjadi netral dari karbon pada 2050. Dengan kata lain, negara-negara itu tak lagi menambah kadar gas rumah kaca sang pemerangkap panas lebih dari kadar alami yang dikeluarkan tanaman setiap tahunnya.

"Perubahan iklim merupakan isu penentu pada masa kita.... Untuk pertama kalinya ada konflik serius antara manusia dan alam, antara manusia dan planet ini," katanya.

Sementara itu, di Swiss, Pizol hanyalah salah satu korban dari pemanasan global. Sudah ada korban lain dan masih akan ada korban lain. Selamat jalan, gletser Pizol! n reuters/ap ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement