REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Aktivis lingkungan Greta Thunberg melampiaskan amarahnya kepada pemimpin dunia yang hadir dalam pertemuan perubahan iklim PBB. Dalam pidato yang berjudul 'Beraninya Anda?' Greta mengatakan kegagalan pemimpin dunia dalam mengatasi perubahan iklim telah memicu amarah jutaan anak-anak dan remaja di seluruh dunia.
Di awal pertemuan PBB, remaja asal Swedia itu memberikan pidato yang menggemparkan. Pertemuan perubahan iklim ini bertujuan menggerakkan pemerintah dan bisnis untuk menghentikan lumpuhnya upaya interasional dalam mengatasi tingginya emisi karbon yang telah mencapai puncak tertingginya pada tahun lalu.
"Ini semua salah, saya seharusnya tidak di sini, saya harusnya kembali ke sekolah di seberang laut sana tapi Anda semua datang ke kami anak-anak muda dengan harapan, beraninya Anda? Anda telah mencuri mimpi dan masa kecil saya dengan kata-kata kosong Anda," kata Thunberg dengan suara gemetar menahan emosi, Selasa (24/9).
Terinspirasi dengan gerakan Thunberg yang melakukan unjuk rasa seorang diri di depan gedung parlemen Swedia tahun lalu, jutaan anak-anak dan remaja di seluruh dunia turun ke jalan meminta pemerintah yang menghadiri pertemuan perubahan iklim mengambil aksi darurat.
"Saya sangat tersentuh dengan emosi di dalam ruang ketika beberapa anak muda berbicara sebelumnya, saya juga ingin mengambil peran saya dalam mendengarkan mereka, saya pikir tidak ada pembuat keputusan politik yang dapat tetap tuli terhadap seruan keadilan antar-generasi," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pertemuan tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengadakan pertemuan itu untuk mendorong implementasi Perjanjian Paris 2015 dalam mengatasi perubahan iklim. Ia telah memperingatkan para pemimpin dunia untuk datang dengan aksi nyata bukan dengan pidato kosong tanpa arti.
"Alam marah, dan kami telah membodohi diri kami sendiri jika kami pikir bisa membodohi alam, karena alam selalu menyerang balik, dan alam di seluruh dunia menyerang balik dengan amarah," kata Guterres.
Ia mengatakan selalu ada harga yang harus dibayar. Tapi harga yang paling mahal adalah tidak melakukan apa-apa, dengan mensubsidi industri bahan bakar fosil, membangun lebih banyak lagi pabrik batu bara.
"Dan dengan menyangkal apa yang seterang siang hari; dunia dalam lubang iklim yang dalam, dan untuk keluarnya kami harus berhenti menggali," katanya.