REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Raja Yordania Abdullah II mengatakan negaranya siap membela Arab Saudi. Hal itu dia sampaikan saat ketegangan di kawasan Timur Tengah semakin meningkat pasca-serangan terhadap fasilitas minyak Saudi Aramco.
Dalam sebuah wawancara dengan MSNBC, Raja Abdullah ditanya tentang meningkatnya ketegangan di Teluk Arab dan kebuntuan perdamaian Timur Tengah, termasuk antara Israel dan Palestina. Dia menjawab pertanyaan itu dengan mengaitkannya pada Iran.
"Kami telah memiliki masalah dan tantangan kami dengan Iran, dan sekali lagi serangan terhadap Arab Saudi sangat penting bagi Yordania. Kami memiliki hubungan yang luar biasa dengan Saudi dan kami berkomitmen untuk membela mereka," kata Raja Abdullah, dikutip laman Al Arabiya pada Selasa (24/9).
Raja Abdullah yang tengah berada di New York untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB mengatakan selama enam bulan terakhir, telah terdapat beberapa negara, termasuk Yordania, yang berusaha memperingatkan tentang eskalasi dan berusaha meredam segala ketegangan.
"Jelas serangan terhadap Aramco telah meningkatkan kontribusi dan ini adalah pekan yang sangat penting di New York, di mana kita semua berusaha mencari cara untuk menjauh dari ambang perang," ujarnya.
Kemudian terkiat konflik Israel-Palestina, dia mengomentari rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat. “Jika kebijakan itu adalah untuk mencaplok Tepi Barat, maka itu akan memiliki dampak besar pada hubungan Israel-Yordania dan juga dalam hubungan Mesir-Israel karena kita adalah dua negara Arab yang memiliki perdamaian dengan Israel," ucap Raja Abdullah.
Pada 14 September lalu, dua fasilitas minyak milik Saudi Aramco di Abqaiq dan Khurais diserang 10 pesawat nirawak (drone). Serangan itu menyebabkan sebagian area pabrik terbakar. Serangan itu dilaporkan memangkas lima persen produksi minyak dunia. Aramco diketahui merupakan perusahaan minyak milik Pemerintah Saudi yang mengalirkan pasokan terbesar ke pasar minyak dunia.
Kelompok pemberontak Houthi Yaman mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun klaim itu diragukan sejumlah negara, termasuk Inggris dan AS. Mereka meyakini Iran yang melancarkan serangan itu.