Setahun sudah bencana gempa, likuifaksi, dan tsunami di wilayah Sulawesi Tengah berlalu. Banyak korban yang telah mendiami hunian sementara (huntara) dari pemerintah, namun ribuan masih bertahan di tenda pengungsian.
Menurut data Koalisi Masyarakat Sipil Korban Gempa Likuifaksi Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala Center), sekitar 4000 keluarga yang menjadi korban tidak mendapat hunian sementara (huntara) dan masih mendiami tenda pengungsian.
ABC berbicara dengan Sekretaris Jenderal Pasigala Center, Khadafi Badjerey, tentang kondisi para korban tanpa huntara, di mana mereka tinggal saat ini dan bagaimana aktivitas ekonomi korban setahun pasca bencana.
Bagaimana kondisi masyarakat di sana sekarang?
Masih banyak warga yang secara UU (undang-undang) kebencanaan masih belum terpenuhi hak dan kebutuhannya mulai dari aspek hunian. Di Palu saja ada sekitar 4000-an keluarga yang tidak dapat huntara dan mereka masih tinggal di tenda pengungsian."Jadi dari jumlah korban yang terdampak dengan jumlah huntara yang dibangun pemerintah itu tidak mencukupi."
Lokasi tenda pengungsi di mana saja?
Sebagian ada di Masjid Agung di Kota Palu, di Buluri, kemudian di (bundaran) STQ di Kota Palu. Kalau yang di Sigi bukan tenda, tapi huntara yang sebenarnya tidak layak disebut huntara, tapi warga menganggapnya huntara. Karena bangunanya dari kayu atapnya dari rumbia seperti gazebo, ukuran 3x4 berdinding terpal dan itu dibangun 5 hari pasca bencana secara partisipatif dan kami yang mengadakan materialnya.
Sampai detik ini lokasi pengungsian ini tidak dianggap oleh pemerintah.
Lalu bagaimana perekonomian warga sekarang?
Kehidupan warga belum normal, misal warga yang mengungsi di areal yang menjadi pusat relokasi Kabupaten Sigi, Desa Sumbebe Kecamatan Biromaru. Mereka adalah warga dari Desa Jono yang terdampak likuifaksi. Rata-rata aktivitas ekonomi mereka sebelum bencana adalah petani dan buruh tani. Jadi mereka tidak punya tanah, ketika bencana melanda desanya, itu membuat mereka kehilangan lahan untuk bekerja.
Warga itu sekarang kerja serabutan. Kalau yang punya keahlian untuk bertukang mereka sebagian jadi buruh tukang dan itu sifatnya tidak pasti karena mereka mengerjakan hunian sesama warga di desa sebelah dan mereka digaji dibawah UMR.
Selain itu, warga ada yang jadi tukang, masuk ke hutan berburu, karena areanya dekat dengan hutan, ada yang membuat arang dengan sisa-sisa kayu, yang dijual per karung Rp 100.000 yang bisa mereka kumpulkan dengan kerja 3 hari.
Apa saja catatan anda dan teman-teman di Pasigala Center terkait penanganan korban?
Selain banyak korban yang belum dapat hunian, masa transisi tanggap darurat yang sudah dicabut sampai hari ini, sudah hampir 5 bulan, mayoritas warga belum dapat haknya. Upaya pemerintah belum maksimal, pemerintah sudah alokasi sejak bulan April tapi tidak terlaksana dengan baik. Data korban belum valid.
Misal dari data kelurahan Palupi, data di kelurahan ada 2.160 KK yang menjadi terdampak bencana, kemudian ada 1.160 KK yang masuk kategorisasi rumah rusak, tapi yang terima jadup (jaminan hidup) hanya 4 KK.
Ketika kita kroscek ke Pemkot (Pemerintah Kota) ternyata yang tervalidasi hanya 4 KK dari data 31 KK yang masuk.
Lantas apa yang harus dilakukan?
Kami meminta dibubarkan satgas (satuan tugas) pelaksana gempa Sulteng (Sulawesi Tengah). Karena satgas yang dibentuk Presiden dipimpin Wapres (Wakil Presiden) dan dikoordinir oleh Wiranto (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia) dan Badan pelaksana hariannya BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) itu tidak efektif.
Secara struktur kelembagaan jenjangnya terlalu panjang, karena dari satgas memposisikan pemerintah daerah (pemda) itu kewenangannya terlalu kecil sehingga ruang yang diberikan kepada pemda itu hanya sebagai pengusul.
Padahal kita tahu penanganan bencana Sulteng statusnya bukan bencana nasional dan akibatnya terjadi misinformasi di semua kelembagaan, bisa kita cek faktanya seperti tidak ada layanan satu pintu penanganan bencana.
Ada masalah prinsip juga dalam penanganan bencana ini, kami sadari betul setelah mengkaji hampir setahun tenyata pemerintah dalam penanganan bencana di Palu itu prespektifnya bukan perspektif hak tapi administrasi dan formalitas.
Maka banyak kejadian pengusiran korban bencana di huntara karena warga itu bukan berasal dari daerah atau wilayah dibangun huntara itu. Jadi masih basisnya administrasi bukan hak.
Bisa dijelaskan lebih rinci mengenai pengusiran warga di hunian sementara ini?
Misal, sebagian korban adalah warga yang punya rumah, tapi kalau berbasis administrasi dan formalitas, ada juga orang yang mengontrak, kos, kaum miskin kota, nelayan di pesisir Palu. Nah itu kan mereka tinggal di hunian yang tidak layak huni sebelum bencana, ketika bencana rumah mereka kena tsunami atau rumah mereka jadi lokasi yang berada di titik patahan dan itu semua akhirnya harus ditinggalkan.
Atau yang di Petobo misalnya, mereka mengontrak dan kos atau tinggal di rumah saudara ketika kena likuifaksi harta benda mereka kan juga turut hilang.
Dan berdasarkan UU kebencanaan kita, selain jiwa, harta benda yang hilang atau rusak itu juga masuk kategori korban, kalau tanpa kerusakan, tanpa korban, dan kerusakan harta benda itu bukan bencana hanya peristiwa alam biasa. Tapi karena merenggut nyawa dan harta benda itu disebut bencana.
Masalahnya perspektif yang digunakan tidak mengacu pada UU itu, tapi pendekatanya sangat formalistis sehingga misalnya fakta yang terjadi pembagian hunian bagi korban dengan kategorisasi rumah rusak sedang atau berat itu standarnya sangat tinggi, yang itu tidak bisa dipastikan korban mendapatkan haknya.
Misalnya syaratnya adalah satu sertifikat satu rumah, faktanya di Kabupaten Sigi dan Donggala ini, satu sertifikat di dalamnya bisa ada 2-3 rumah.
Bagaimana dengan rencana relokasi korban gempa?
Relokasi sudah ditetapkan sejak Desember lalu, tetapi 2 areal yang terdampak khususnya Balaroa dan Petobo itu warga menolak direlokasi. Kalau di Palu ada 2 titik relokasi yakni Duyu (barat) dan Tondo (timur).
Nah Balaroa itu bagian barat tapi warga Balaroa menolak direlokasikan ke Duyu sebab itu jauh dari kegiatan ekonomi mereka.
Pemerintah menetapkan areal relokasi itu tidak menimbang soal terintegarasi langsung dengan kegiatan ekonomi mereka. Begitu juga untuk warga Petobo akan di relokasi ke Tondo yang jaraknya kurang lebih 7 kilo.
Itu wargaPpetobo menolak karena kegiatan ekonomi mereka ada di Petobo. Ketika mereka pindah ke Tondo, bagaimana kegiatan ekonomi mereka?
Jadi setahun gempa-tsunami belum ada perubahan signifikan?
Pembangunan di daerah relokasi terancam sia-sia, tidak akan dihuni itu hunian tetap yang akan dibangun. Banyak tempat bisa belajar ketika pembangunan huntara berskala besar yang jauh dari kegiatan ekonomi warga itu sudah dipastikan tidak akan dihuni.
Bahkan ada yang lebih parah lagi, Soal revisi tata ruang Sulteng, kajian revisi tata ruang ini sedang dilakukan dan dipihak ketiga-kan oleh Pemerintah. Ketika satgas ini benar-benar bekerja, mereka harusnya menentukan rencana revisi tata ruangnya harus berperspektif kebencanaan.
Tapi ini tidak, revisi tata ruang terus berjalan yang tidak terkait perspektif kebencanaan. Padahal BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) sudah mengeluarkandData zona rawan bencana (DRB). Nah itu tidak nyambung dengan revisi tata ruang tadi . Seharusnya kalau sudah ada DRB tadi, itu kan harus dikaitkan dengan peta itu.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia