REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, berpidato di sidang Majelis Umum PBB pada Jumat (27/9). Dia menyinggung masalah krisis Rohingya dalam pidatonya.
Hasina meminta negara anggota PBB memastikan bahwa mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Muslim Rohingya bertanggung jawab. “Komunitas internasional harus memastikan pertanggung jawaban atas pelanggaran HAM dan kekejaman yang dilakukan di Negara Bagian Rakhine,” ujarnya, dikutip laman Anadolu Agency.
Menurutnya, penyelesaian masalah dan krisis Rohingya memang sangat bergantung pada Myanmar. “Myanmar harus mewujudkan kemauan politik yang jelas untuk kembalinya (pengungsi) Rohingya yang aman, berkelanjutan, dan bermartabat,” ucap Hasina.
Dia mengusulkan empat poin untuk menyelesaikan krisis Rohingya dan mempercepat proses repatriasi. Hal itu termasuk pencabutan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982.
UU itu diketahui menyisihkan Rohingya sebagai warga negara sehingga mereka yang kini mengungsi di Bangladesh tak memiliki keyakinan untuk kembali ke kampungnya.
Hasina mengusulkan agar otoritas Myanmar mengajak perwakilan pengungsi Rohingya untuk mengunjungi dan berkeliling Rakhine. Hal itu dilakukan dengan pendampingan perwakilan lembaga internasional. Dengan demikian para pengungsi memiliki penilaian sendiri apakah mereka aman untuk kembali atau tidak.
Dia berpendapat hingga saat ini Myanmar masih gagal menciptakan lingkungan yang kondusif di Rakhine. “Sampai sekarang tidak ada satu pun Rohingya yang kembali ke negara asalnya karena kegagalan Myanmar mengembangkan lingkungan yang aman dan sehat di Rakhine,” ujar Hasina.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh.
Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.
Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine.
Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.
Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).