REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan ribu pengunjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong kembali melakukan demontrasi pada Ahad (29/9) waktu setempat. Menjelang peringatan ke-70 tahun Republik Rakyat China (RRC) pada 1 Oktober mendatang, para pengunjuk rasa kian kencang meneriakkan slogan anti-China, meski aksinya mendapat perlawanan cukup represif dari kepolisian.
Para pengunjuk menggelar aksi di pusat pemerintah Hong Kong dengan tema "Global Anti-Totalitarianism Rally.” Namun belum sampai satu jam aksi digelar, polisi memukul mundur pengunjuk rasa dengan melepaskan gas air mata.
Bentrok antara polisi dan pengunjuk rasa akhirnya terjadi di beberapa distrik, yang diperkeruh dengan gas air mata dan semburan peluru karet. Polisi bahkan melakukan beberapa penangkapan.
Dalam aksinya, para pengunjuk rasa juga mengibarkan bendera dari berbagai negara dan lembaga internasional, termasuk Amerika Serikat (AS) dan PBB. Itu dilakukan sebagai seruan kepada global untuk mendukung gerakan anti-ekstradisi China.
Dalam aksinya, para pengunjuk rasa banyak yang berpakaian hitam dan beberapa memakai topeng Guy Fawkes. Mereka memegang spanduk berwarna kuning dengan bertuliskan "Kembalikan Hong Kong, Saatnya Revolusi."
Dilansir The Wall Street Journal, Senin (30/9), aksi yang digelar pada Ahad itu tidak mengantongi izin dari kepolisian setempat. Karena itu, polisi berusaha memukul mundur para demonstran di sore hari, bahkan sebelum aksi dimulai.
"Kami bukan radikal, kami hanya ingin berjuang untuk masa depan yang lebih baik," kata seorang pengunjuk rasa yang masih berusia 15 tahun, John.
"Kami ingin memberi tahu dunia bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Partai Komunis juga bisa terjadi di sini," tambah John.
Di sepanjang rute demonstrasi, pengunjuk rasa merusak fasad bisnis Cina daratan, termasuk gerai bank-bank milik negara, kemudian memasang plakat anti-Partai Komunis dan slogan-slogan protes menggunakan cat semprot.
Diketahui, demonstrasi Hong Kong yang terus berlanjut, dipicu oleh rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang memungkinkan tersangka akan diadili oleh sistem hukum China. Meskipun pemerintah Hong Kong secara resmi mencabut RUU tersebut awal bulan ini, gerakan protes masih terus berlanjut.
Pemerintah Hong Kong telah mengisyaratkan keinginannya untuk rekonsiliasi melalui dialog dalam beberapa pekan terakhir. Tetapi volume dan keganasan protes yang terus berlangsung menunjukkan bahwa strategi pemerintah tidak banyak berbuat untuk memadamkan kerusuhan.