Selasa 01 Oct 2019 22:05 WIB

Satu-satunya Pabrik Farmasi di Gaza Berjuang Bertahan

Obat-obatan itu dijual dengan marjin keuntungan yang rendah untuk membantu warga Gaza

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Dwi Murdaningsih
 Pemadam kebakaran Israel memadamkan api yang berasal dari alat pembakar yang diluncurkan dari Jalur Gaza, dekat pagar perbatasan Israel dan Gaza, Rabu, (15/5). Rakyat Palestina menandai peringatan Hari Nakba ke-71 dengan berdemonstrasi di Tepi Barat yang diduduki Israel dan Jalur Gaza.
Foto: AP
Pemadam kebakaran Israel memadamkan api yang berasal dari alat pembakar yang diluncurkan dari Jalur Gaza, dekat pagar perbatasan Israel dan Gaza, Rabu, (15/5). Rakyat Palestina menandai peringatan Hari Nakba ke-71 dengan berdemonstrasi di Tepi Barat yang diduduki Israel dan Jalur Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Satu-satunya pabrik farmasi di Jalur Gaza masih tetap berdiri di tengah situasi krisis ekonomi yang mengerikan. Israel selama 12 tahun memblokade wilayah pantai Palestina. Pabrik tersebut berjuang untuk tetap bertahan.

Ketua Laboratorium Farmasi dan Kosmetika Timur Tengah, Marwan al-Astal, mengatakan pabrik farmasi di Gaza didirikan pada 1994 oleh Laboratorium Farmasi dan Kosmetika Timur Tengah, tetapi produksinya dimulai pada tahun 1999.

Baca Juga

"Pabrik tersebut memenuhi standar internasional untuk pembuatan produk farmasi," kata Marwan kepada kantor berita Cina, Xinhua, Senin (30/9) waktu setempat.

Pabrik farmasi ini mempekerjakan 60 pekerja. Dua pertiganya adalah apoteker, yang menghasilkan berbagai obat-obatan untuk dipasok ke pasar lokal.

Marwan mengakui, produk obat-obatan itu dijual dengan marjin keuntungan yang rendah untuk membantu meringankan kondisi ekonomi yang mengerikan yang dihadapi oleh warga Gaza. Menurutnya, blokade Israel dan krisis ekonomi yang ditimbulkannya dapat menghentikan bisnis farmasi tersebut.

Meski begitu, lanjut Marwan pabrik masih terus berjuang untuk tetap bertahan. Saat ini pabrik menyediakan 13 obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasar lokal. Dia juga menyadari, ada penurunan produksi farmasi yang biasa dibuat dan ekspor ke Tepi Barat dan Aljazair.

"Kami sekarang dapat memproduksi jenis obat-obatan lain di mana kami dapat menyeimbangkan tingkat keuntungan," katanya.

Marwan mengungkapkan, hal yang paling berkontribusi signifikan atas penurunan kapasitas produksi pabrik adalah serangan berulang Israel ke pabrik. Bahkan pabrik itu pernah disita oleh tentara Israel selama lebih dari tiga bulan terus menerus.

Pasukan Israel sempat menduduki pabriknya selama konfrontasi militer skala besar dengan faksi-faksi Palestina bersenjata di Jalur Gaza utara. Belum berakhir persoalan tersebut, pabrik juga pernah mendapat beberapa serangan udara Israel, sehingga pabrik terpaksa ditutup sementara untuk memperbaiki kerusakan.

Menurut Marwan, blokade Israel telah menjadi penghalang terbesar terhadap proses produksi dan pengembangan pabrik. "Sejak blokade diberlakukan pada 2007, pihak berwenang Israel mencegah masuknya banyak bahan baku yang diperlukan untuk industri farmasi. Ini mengurangi tingkat produksi bahkan sampai 80 persen," ucap dia.

Sementara itu, manajer pabrik, Sami al-Taaban, menuturkan pabrik terus menggunakan 20 persen dari kapasitas produksinya. Pihaknya berhasil menemukan alternatif untuk mempertahankan keuntungan minimum serta menjaga pekerjanya.

"Alternatifnya adalah memproduksi varietas lain obat-obatan dan kosmetik untuk memastikan kelangsungan kerja," kata al-Taaban kepada Xinhua. Dia menambahkan, proses memproduksi obat-obatan memakan waktu berbulan-bulan karena untuk mendapatkan bahan baku butuhkan waktu lama agar diizinkan masuk ke Gaza. Ini membuat kapasitas produksinya lebih sedikit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement