Kamis 03 Oct 2019 01:39 WIB

Toko Hermes Terpaksa Tutup di Hong Kong

Aksi demo memukul penjualan barang mewah di Hong Kong.

Rep: Haura Hafizah/ Red: Indira Rezkisari
Polisi antihuru-hara di jalanan Hong Kong, Selasa (1/10).
Foto: AP Photo/Vincent Thian
Polisi antihuru-hara di jalanan Hong Kong, Selasa (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Perajin perhiasan Amerika Serikat Tiffany memandang Hong Kong sebagai pasar terbesar keempatnya. Aksi demo di Hong Kong namun memberi dampak signifikan terhadap bisnis Tiffany.

"Tidak ada pengunjung di mal-mal. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya dan kami juga kadang-kadang berjuang untuk menjaga toko kami tetap terbuka," kata CEO Alessandro Bogliolo dikutip dari Reuters, Kamis (3/10).

Baca Juga

Kemudian, merek France Hermes yang menghasilkan 10.000 dolar lebih dari tas kulit Birkin pada bulan September telah dipaksa untuk sementara waktu menutup beberapa dari lima toko serta sebuah toko di bandara Hong Kong.

Merek Chanel juga berencana menempatkan peragaan busana yang digelar pada bulan November 2019. Namun, dengan keadaan seperti ini ia tidak jadi menggelar acara tersebut.

Tetapi sebagian besar perusahaan tidak memikirkan kembali rencana bisnis mereka secara lebih drastis dan merek Tiffany tetap melanjutkan pembukaan acaranya pada bulan September sesuai rencana.

Beberapa merek mewah, seperti LVMH kemungkinan dapat untung banyak berkat meningkatnya permintaan di China daratan dan negara-negara Asia lainnya. LVMH, yang menghasilkan sekitar enam persen dari pendapatannya di Hong Kong memulai musim pelaporan industri pekan depan. Mereka menolak berkomentar mengenai dampak dari aksi demo sejauh ini.  

Penggerak penjualan besar seperti pembuat tas Louis Vuitton atau label mode Christian Dior telah menikmati permintaan yang kuat dalam beberapa bulan terakhir dari China daratan. Namun aksi di Hong Kong membuat merek mewah kehilangan penjualannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement