REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Kamran Dikarma
Presiden Iran Hassan Rouhani mengapresiasi Presiden Prancis Emmanuel Macron atas upayanya memediasi pembicaraan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump saat menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York pada pekan lalu. Namun, rupanya ada kisah di balik proses mediasi itu.
“Dia (Macron) melakukan yang terbaik dalam 48 jam itu, terutama dalam 24 jam terakhir, dan kami mendukung,” kata Rouhani saat berbicara dalam sidang kabinet pada Rabu (2/10), dikutip laman Iran, Front Page.
Namun, Rouhani dan Trump memang tak sempat bertemu atau melakukan pembicaraan. Menurut Rouhani, pihak yang patut disalahkan atas kegagalan itu adalah Gedung Putih.
“Satu-satunya yang mencegah kami mencapai hasil adalah Gedung Putih. Baik Prancis maupun Jepang dan negara-negara lain tak dapat disalahkan. Semua pihak, bersama dengan Iran, berusaha keras,” ujar Rouhani.
Akhir pekan lalu, di sela-sela sidang Majelis Umum PBB, Macron memang dilaporkan berusaha melakukan pembicaraan telepon tiga arah dengan Rouhani dan Trump. Kala itu Trump disebut siap berbincang dengan Rouhani.
Namun, Rouhani dilaporkan menolak untuk mengangkat telepon tersebut. Ia enggan berbicara dengan Trump selama AS masih memberlakukan sanksi terhadap Iran. Sementara itu, Macron tetap membujuk Rouhani.
Macron menilai, jika pertemuan di PBB tak dimanfaatkan Rouhani untuk bertemu atau berbicara dengan Trump, satu kesempatan berharga telah disia-siakan. Namun, Rouhani dilaporkan tetap menolak berbicara.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan AS dengan Iran memanas. Washington diketahui menuduh Teheran bertanggung jawab atas serangan terhadap sejumlah kapal tanker di Selat Hormuz beberapa waktu lalu. Tudingan itu pun dibantah tegas.
Aksi penyerangan kapal tanker di Selat Hormuz mendorong AS membentuk koalisi pengamanan maritim di kawasan tersebut. Iran memandang kehadiran pasukan asing di perairan Teluk tak menyelesaikan masalah dan hanya meningkatkan ketegangan.
AS pun menuduh Iran mendalangi serangan terhadap dua fasilitas minyak Saudi Aramco pada 14 September lalu. Teheran pun membantah tudingan tersebut. Rouhani bahkan meminta AS, termasuk Inggris, Prancis, dan Jerman, membuktikan tuduhan itu.
AS dan Iran pun masih berselisih terkait kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). AS telah mundur dari kesepakatan itu pada Mei 2018. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran.
Akibat sanksi tersebut, Iran secara berangsur menangguhkan komitmennya dalam JCPOA. Mereka menyatakan akan terus melakukan pengayaan uranium jika Eropa tak berhasil melindungi perekonomiannya dari sanksi Washington. n ed: yeyen rostiyani