REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Polisi Hong Kong kembali melukai demonstran dengan tembakan. Akibatnya, seorang remaja terluka parah dalam unjuk rasa yang berlangsung Jumat (4/10).
Insiden itu terjadi ketika protes kekerasan meletus di seluruh kota beberapa jam setelah pemimpin Hong Kong Carrie Lam menyatakan peraturan darurat dalam pelarangan penggunaan masker di tempat umum. Dalam sebuah tantangan langsung kepada pihak berwenang di Beijing, pengunjuk rasa membakar, melemparkan bom bensin ke polisi dan membakar bendera nasional China setelah adanya pengumuman itu.
Polisi mengatakan, seorang petugas di Yuen Long melepaskan tembakan untuk membela diri setelah pemrotes melemparkan bom bensin ke arahnya sampai membuatnya terbakar. Media setempat melaporkan, seorang remaja pria berusia 14 tahun tertembak di bagian paha.
Otoritas Rumah Sakit mengonfirmasikan, remaja itu dalam kondisi serius. Tak ada rincian lebih lanjut yang diberikan.
Polisi juga menembakkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa di distrik-distrik titik panas di seluruh wilayah, termasuk Causeway Bay, Sha Tin, dan Wong Tai Sin. Ketika pemrotes tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah, aparat seperti terdesak dan kebingungan untuk bertindak.
Kejadian penembakan langsung oleh polisi pun sempat terjadi dalam unjuk rasa berbarengan dengan peringatan ke-70 berdirinya Republik Rakyat China. Dalam peristiwa itu, Polisi menembak salah satu pengunjuk rasa berusia 18 tahun.
Korban tembakan itu adalah Tony Tsang. Dia ditembak dari jarak dekat ketika berhadapan dengan seorang polisi.
Saat ini, dia dalam kondisi stabil di rumah sakit dan didakwa melakukan kerusuhan dan menyerang petugas. Dia terancam dijatuhi hukuman maksimum 10 tahun.
"Ini adalah seperangkat peraturan kolonial kuno, dan Anda tidak dapat menggunakannya kecuali Anda tidak dapat membuat undang-undang lagi," kata aktivis veteran dan salah satu pengacara paling terkemuka di kota itu Martin Lee.
Larangan masker wajah akan berlaku pada Sabtu di bawah undang-undang darurat yang memungkinkan pihak berwenang untuk membuat peraturan apa pun dalam upaya meningkatkan keamanan untuk kepentingan umum. Pelarangan masker wajah disebut diperlukan untuk memadamkan kekerasan yang meningkat. Pemerintah tidak mengesampingkan langkah tindakan lebih lanjut jika kerusuhan berlanjut.
Undang-undang darurat pun memperbolehkan jam malam, menyensor media, dan mengatur pelabuhan dan transportasi. Lam hingga saat ini tidak merinci tindakan khusus apa pun yang mungkin mengikuti di luar larangan penggunaan masker wajah.
“Undang-undang antitopeng telah menjadi alat tirani. Mereka dapat menggunakan hukum darurat untuk memberlakukan kebijakan atau hukum apa pun yang diinginkan pemerintah. Tidak ada aturan hukum lagi. Kami hanya bisa bersatu dan protes," kata pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa, Samuel Yeung.
Unjuk rasa tersebut bermula atas tuntutan penentangan terhadap undang-undang ekstradisi yang telah dibatalkan. Banyak pengunjuk rasa mengenakan topeng untuk menyembunyikan identitas mereka karena kekhawatiran perusahaan tempat mereka bekerja dapat menghadapi tekanan untuk mengambil tindakan terhadap aktivis anti-pemerintah dan penguasa politik kota di Beijing.
Atas kondisi itu, Pemerintah Hong Kong pun memutuskan untuk memerintahkan pengunjuk rasa membuka penutup wajah agar identitas mereka bisa dikenali. Hal ini upaya untuk menekan situasi yang semakin sulit dikendalikan.