Sabtu 05 Oct 2019 14:29 WIB

Tergoda Pensiun Dini, Makin Banyak Generasi Milenial Indonesia Investasi Saham

Pensiun dini menjadi pemicu generasi milenial investasi di saham

Red:
Ilustrasi saham.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi saham.

Keuntungan yang besar membuat banyak orang tertarik untuk terjun ke pasar modal dengan berinvestasi saham. Namun bagi banyak milenial Indonesia, peluang untuk bisa pensiun dini menjadi alasan kuat untuk menekuni investasi ini. Beberapa dari mereka bahkan terjun ke masyarakat dengan membentuk komunitas yang memotivasi investasi saham.

Terinspirasi Warren Buffet -investor terkemuka dunia, Frisca Devi Choirina tertarik untuk memelajari saham di tahun 2010, tahun pertamanya memulai perkuliahan.

Berawal dari keikusertaan dalam kompetisi pasar modal, Frisca akhirnya memutuskan untuk memperdalam pengetahuan tentang saham dengan bergabung dalam kelompok studi pasar modal di kampusnya, Universitas Diponegoro Semarang.

"Motivasi terbesar pengen bisa pensiun sebelum masa pensiun, alias pensiun di usia muda."

"Financial freedom (kebebasan keuangan) sebelum umur 40 kayaknya kan seru," ujarnya kepada ABC.

Frisca mengakui, saat ia pertama berinvestasi saham 9 tahun lalu, tak banyak milenial yang berpandangan sama dengan dirinya. Namun kala itu, ia memiliki alasan kuat.

"Kebetulan saya anak tunggal dan ortu (orang tua) sudah enggak ada semua. Jadi makin terdorong secara psikologis buat survive (bertahan) hidup mandiri dengan merdeka finansial di usia muda," ceritanya.

Menurut perempuan berhijab ini, literasi finansial belum merata ke kalangan milenial.

"Kebanyakan milenial masih malas buat belajar saham gara-gara sudah identik dengan grafik yang membuat mereka beranggapan 'pusing harus ngamatin gitu2an'."

"Ditambah kalau masih ada yang berpikiran butuh modal besar buat beli saham. Padahal kan enggak begitu praktiknya," kata ibu satu anak ini.

 

Berangkat dari kegelisahan itu, Frisca lantas membentuk komunitas Investor Saham Pemula (ISP) di tahun 2014.

Kini, komunitas yang dibentuknya telah memiliki 400 duta yang tersebar di 52 kota/kabupaten di seluruh Indonesia, dan juga Hong Kong serta Singapura. Komunitas ini bahkan memiliki lebih dari 100 ribu pengikut di media sosial dan lebih dari 4000 orang di grup percakapan privat yang ABC ikuti.

Adi Atma Kurniawan (23) adalah salah seorang anggota di komunitas ISP yang didirikan Frisca. Baru sepekan belakangan ia menjadi investor saham, setelah berbulan-bulan memelajari soal investasi.

"Dulu hanya sekedar ngobrol sama teman tentang saham dan mulai tertarik."

"Setelah itu mulai follow akun-akun tentang financial di IG (Instagram). Nah dari situ jadi tahu kalau dari beberapa instrumen investasi ternyata saham yang memberikan return paling tinggi."

"Dari situ mulai ingin cari tahu dan tertarik biar uang enggak habis enggak jelas, lebih baik diarahkan ke investasi khususnya saham," utaranya kepada ABC.

Sepaham dengan Adi, Reza Riwanda (24) juga berpendapat saham merupakan instrumen paling tepat untuk mengeruk keuntungan tinggi.

"Setelah saya gali informasinya, saya jadi tertarik karena saham bisa dapat return (keuntungan) tinggi tapi emang resiko juga tinggi sih."

"Kalau emas dan sukuk kan return kecil dan kadang butuh 4 tahun dan lihat pergerakannya juga susah di mana paling patokannya ya Antam (BUMN Aneka Tambang)."

"Kalau saham kan bisa di monitor langsung jadi itu yang buat saya mau nabung saham dan dividennya," tutur pemuda yang bekerja di konsultan asing ini.

Berbeda dengan Adi, Reza tak bergabung dengan komunitas ISP. Ia belajar saham dari temannya yang lebih dulu terjun sebagai investor, dan dari film.

"Saya sempat nonton film tentang uang dan krisis housing market di 2008."

"Di situ saya belajar, jadi kalau saham blue chip pada kena krisis, kesempatan serok sahamnya gede dan bisa dapet lot (lembar saham) banyak, tapi memang harus sabar nunggu recover-nya tapi dijamin return tinggi," jelasnya kepada ABC.

Sama seperti Frisca dan Adi, Reza juga ingin kebebasan finansial dan bercita-cita untuk pensiun dini.

"Saya enggak mau nanti kalau punya anak, saya menjadi beban (anak)."

"Gaji habis cuma buat cicilan. Kalau sewaktu-waktu kenapa-kenapa atau saya mau pensiun dini kan enggak perlu khawatir," ujarnya.

Cerita yang berbeda digulirkan Jessica Wijaya (28). Milenial yang tinggal di Jakarta ini tertarik 'bermain' saham justru dari suaminya.

Setelah total terjun ke pasar modal di tahun 2014, ia mendirikan komunitas online bernama Jess Investing Club akhir tahun lalu, dan kini berhasil menjaring 6500 pengikut.

Dua bulan belakangan, Jessica mengaku tengah menggarap proyek pemberdayaan ibu rumah tangga yang fokus pada investasi saham.

"Saya melihat banyak yang masih belum mengenal investasi secara benar, jadi tergantung aja sama penghasilan suaminya."

"Padahal stock investing (berinvestasi di saham) itu pas banget untuk ibu rumah tangga yang ingin mengelola uang untuk investasi jangka panjang."

"Karena enggak makan banyak waktu dan bisa dilakukan kapan saja secara online," jelasnya kepada ABC.

Di proyek ini, Jessica membantu 9 ibu rumah tangga yang ia fasilitasi mulai dari buka rekening sampai mengedukasi cara memilih saham yg tepat, termasuk kapan waktu yang tepat untuk membeli dan menjual saham.

 

Mayoritas paham investasi

Di awal tahun 2018, lembaga riset Alvara sempat mengeluarkan hasil surveinya mengenai perilaku generasi milenial di bidang keuangan.

Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa milenial adalah generasi yang sudah melek terhadap keuangan.

Tingkat kesadaran (awareness) mereka terhadap produk keuangan, sebut survei Alvara, hampir merata di semua produk.

"Total awareness keseluruhan produk mencapai 785% yang artinya setiap satu orang memiliki pengetahuan terhadap hampir 8 produk keuangan."

"Produk keuangan yang paling diingat milenial adalah produk tabungan, yakni sebesar 79,8 persen. Sedangkan lima produk keuangan dengan tingkat awareness tertinggi antara lain produk tabungan, asuransi kesehatan, deposito, kartu kredit dan kredit kepemilikan rumah," jelas Hasanudin Ali, CEO Alvara.

Mayoritas generasi ini juga melek terhadap produk investasi, mulai dari yang konvensional seperti emas dan properti hingga investasi modern seperti saham, reksadana, valas, obligasi, dan future indeks.

"Mereka tidak tabu dengan produk-produk tersebut. Meski demikian, kepemilikan produk investasi generasi ini masih terbatas. Tetapi mereka sudah mulai pilih-pilih produk investasi yang akan mereka gunakan di masa depan."

"Hal ini terlihat dari besarnya proporsi responden yang merencanakan keuangan mereka. Sementara produk investasi yang paling banyak dimiliki adalah produk emas, kemudian properti," kata Hasanudin tentang hasil survei lembaganya terhadap 600 responden milenial di 6 kota besar Indonesia.

Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement