REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Indonesia dinilai menjadi satu-satunya negara yang kalah di antara negara-negara ASEAN dalam memanfaatkan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Kekalahan tersebut karena Indonesia gagal menarik perusahaan manufaktur yang menghindari kenaikan tarif akibat perang dagang AS-Cina.
Berdasarkan laporan perusahaan broker dari Maybank, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Filipina menjadi negara yang bisa memanfaatkan perang dagang. Mereka mendapatkan investasi asing langsung (FDI) yang lebih tinggi ketika Washington dan Beijing saling membalas menaikkan tarif selama 13 bulan terakhir yang telah meningkatkan rantai pasokan dan membuat volatilitas ekonomi di seluruh dunia.
Ekonom Lee Ju Ye mengatakan, Vietnam mendapat keuntungan paling besar dari perang dagang dengan lonjakan arus masuk FDI dari Cina dan Hong Kong 73 persen pada tahun lalu. Pada paruh pertama 2019, permohonan investasi asing melonjak 211 persen.
Malaysia juga mencatat masuknya investasi Cina meningkat awal tahun ini, setelah hampir dua tahun menurun. Sementara, Singapura juga mendapat keuntungan karena perusahaan yang pindah ke Malaysia kemungkinan akan mengambil pinjaman dari bank-bank negara tersebut.
"Bahkan Filipina, yang tidak benar-benar dikenal sebagai wilayah manufaktur, juga menerima permohonan FDI. Satu-satunya yang kalah tampaknya adalah Indonesia," kata Lee, dikutip dari South China Morning Post, Senin (7/10).
Meski begitu, Lee mengatakan, pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) memperhatikan keadaan tersebut. Bulan lalu, Jokowi menuntut agar para menteri kabinetnya bekerja lebih keras untuk mengambil keuntungan dari perubahan dalam rantai pasokan dunia.
Presiden mengutip angka-angka Bank Dunia yang mengatakan dari 33 perusahaan Cina yang memindahkan operasi ke luar negeri, 23 memilih Vietnam sementara 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Lee menunjuk bagaimana perusahaan elektronik Taiwan Pegatron telah memutuskan untuk membangun pabrik di Batam, Indonesia.
"Indonesia telah kehilangan kesempatan, dan saya pikir ini adalah peringatan bagi pemerintah untuk berbuat lebih banyak," ujar Lee.
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana untuk menurunkan pajak perusahaan hingga 20 persen dari tarif saat ini yang mencapai 25 persen. Namun, upaya memikat itu pun dilakukan pemerintah ASEAN lainnya yang secara aktif mencari perusahaan Cina untuk pindah ke kotanya.
Contoh saja Thailand yang meluncurkan paket relokasi, Thailand Plus. Beberapa insentif yang ditawarkan di bawah paket termasuk lima tahun pengurangan 50 persen pajak penghasilan perusahaan, serta hibah untuk peningkatan tenaga kerja. Di Malaysia, pemerintah telah membentuk komite untuk mempercepat aplikasi yang terkait dengan investasi yang datang dari Cina.
Lee melihat, pemerintahan Jokowi sebenarnya secara administrasi lebih mudah dan terbuka menerima dana dari Cina. Indonesia saat ini memiliki satu proyek kereta api cepat senilai 6 miliar dolar AS yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, dan bertujuan menyalurkan lebih banyak investasi semacam itu di wilayah lain Pulau Jawa.
Para ekonom menyarankan dalam aliran modal Cina ke Malaysia kemungkinan akan lebih banyak mengucur ke proyek konstruksi, seperti East Coast Rail Link senilai 11 miliar dolar AS yang dinegosiasikan ulang. "Meskipun Malaysia belum melihat kembalinya investasi Cina, kami berpikir paruh kedua tahun 2019 dan 2020, dengan kebangkitan proyek-proyek ini, kami akan melihat arus kembali ke Malaysia," kata mereka.
Liu juga mengatakan, Laos dan Kamboja juga mendapat investasi lebih besar dengan Cina di bawah skema infrastruktur. Mereka mengembangkan jalur cepat Phnom Penh dan Sihanoukville, yang diharapkan akan selesai pada 2023. Ada pula Kereta Api Berkecepatan Tinggi Cina-Laos yang akan menghubungkan Vientiane dan Kunming.
"Kami berpikir ASEAN akan mendapat manfaat karena China berfokus pada proyek-proyek yang lebih dekat ke rumah. Namun, setelah mengatakan itu, ketika kita berbicara tentang investasi Cina, kita melihat Cina masih bukan investor asing terbesar di kawasan ini," ujar Liu.
Menurut data dari penyedia informasi keuangan Fitch Solutions, proyek infrastruktur yang didukung Jepang di enam negara Asia Tenggara bernilai 367 miliar dolar AS, dibandingkan dengan Cina yang masih 255 miliar dolar AS. Sedangkan investasi yang dilakukan AS telah menurun sejak 2018 dan Uni Eropa sejak 2016.