REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sekretaris pers Gedung Putih mengatakan, pasukan militer Amerika Serikat (AS) tidak akan mendukung atau terlibat dalam operasi militer di Suriah. Turki akan melanjutkan operasi militernya di Suriah utara guna menciptakan apa yang mereka sebut zona aman.
"Turki akan segera bergerak maju dengan operasinya yang telah lama direncanakan ke Suriah Utara. Angkatan Bersenjata AS tidak akan mendukung atau terlibat dalam operasi itu. Pasukan AS, setelah mengalahkan ISIS, tidak akan lagi berada di daerah itu," ujar sekretaris pers Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.
Menanggapi hal itu, Presiden Turki Reccep Tayip Erdogan melalui juru bicaranya Ibrahim Kalin mengatakan rencana zona aman Turki sudah berada dalam kerangka integritas teritorial Suriah. "Zona aman memiliki dua tujuan: untuk mengamankan perbatasan kami dengan membersihkan elemen-elemen teroris dan untuk mencapai kembalinya para pengungsi dengan cara yang aman. Turki kuat dan penuh tekad," cicit Kalin di Twitter.
Turki mengatakan, negaranya ingin memutuskan dua juta pengungsi Suriah di zona tersebut. Kini, di sana, tertampung 3,6 juta warga Suriah yang berlindung dari konflik lebih dari delapan tahun di tanah air mereka. Usai penyataan tersebut, mata uang Turki, lira melemah di perdagangan terhadap dolar AS.
Sebelumnya, Erdogan dan Presiden AS Donald Trump melakukan perbincangan melalui telepon membahas pembangunan zona aman di seblah timur Sungai Eufrat di Suriah.
Erdogan mengatakan, serangan militer ke Suriah timur laut sudah dekat, setelah Ankara menuduh Washington menghentikan upaya membangun zona aman di sana bersama-sama. Turki telah lama bertekad melakukan operasi yang menargetkan milisi YPG Kurdi Suriah, yang dianggapnya sebagai organisasi teroris yang terikat dengan pemberontak Kurdi di Turki. AS membantu YPG mengalahkan militan ISIS di Suriah.
Setelah panggilan telepon Erdogan dan Trump, kepresidenan Turki mengatakan, kedua pemimpin telah sepakat bertemu di Washington bulan depan. Selama ditelepon, Erdogan mengekspresikan kekesalannya karena pasukan militer AS dan keamanan gagal mengimplementasikan perjanjian antara kedua negara.
Pernyataan Gedung Putih mengatakan, Turki kini akan bertanggung jawab untuk semua militan ISIS di daerah yang direbut selama dua tahun terakhir. Sebab, Perancis, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya menolak permintaan AS untuk membawa mereka kembali.
Sekutu NATO sepakat pada Agustus untuk membangun zona di timur laut Suriah di sepanjang perbatasan dengan Turki. Turki mengatakan AS telah bergerak terlalu lambat untuk mendirikan zona itu. AS mendukung Pasukan Demokrat Suriah (SDF), pasukan pimpinan YPG yang mengalahkan ISIS di Suriah.
Turki berulang kali memperingatkan akan meluncurkan serangan sendiri ke Suriah timur laut, tempat pasukan AS ditempatkan di samping SDF. Kedua negara juga berselisih tentang seberapa jauh zona itu harus meluas ke Suriah dan siapa yang harus mengendalikannya. Turki mengatakan luasnya harus 30 Km. Hubungan antara sekutu juga telah ditekan atas pembelian rudal pertahanan Rusia S-400 Turki dan persidangan karyawan konsulat AS di Turki.