REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Penguasa de facto Uni Emirat Arab (UAE) membahas isu pertahanan dan militer serta keamanan kawasan dengan wakil menteri pertahanan Arab Saudi di Abu Dhabi. Pembahasan berlangsung pada Ahad (6/10) di tengah peningkatan ketegangan dengan musuh mereka bersama, Iran.
Menurut laporan kantor berita WAM, Putra Mahkota Abu Dhabi Syekh Mohammed bin Zayed al-Nahyan dan Wakil Menteri Pertahanan Arab Saudi Putra Khalid bin Salman membahas sejumlah tantangan yang dihadapi kawasan Teluk Arab dan dampak terhadap stabilitas dan keamanan negara-negara serta upaya untuk menghadapinya.
Ketegangan dengan Iran meningkat pascaserangan 14 September di sarana minyak Saudi. AS dan Saudi menuduh insiden itu didalangi oleh Iran. Peristiwa itu meningkatkan kekhawatiran konfrontasi langsung dapat menciptakan perang baru di Timur Tengah.
Iran membantah keterlibatan apa pun dalam serangan itu. Kelompok al-Houthi dukungan Iran di Yaman mengklaim bertanggung jawab ats serangan itu.
Arab Saudi dan UAE merupakan mitra dalam koalisi Muslim Sunni yang memerangi al-Houthi. Mereka mendukung aksi tekanan maksimal Amerika Serikat terhadap Iran Muslim Syiah sejak Washington tahun lalu hengkang dari perjanjian nuklir 2015 dan kembali memberlakukan sanksi terhadap Republik Islam itu.
UAE saat ini melunakkan retorikanya dengan mendesak agar ketegangan diturunkan pascaserangan tanker di perairan Teluk pada Mei dan Juni. Serangan tersebut juga ditudingkan Washington dilakukan oleh Iran, tuduhan yang ditepis Teheran.
Perbedaan antara Riyadh dan Abu Dhabi juga mencuat sehubungan dengan perang Yaman, setelah UAE mengurangi keberadaannya pada Juni di bawah tekanan sekutu Barat untuk mengakhiri konflik yang telah mendorong jutaan orang ke ambang kelaparan.