REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kepolisian Inggris menangkap lebih dari 200 orang yang berpartisipasi dalam unjuk rasa bertajuk “Extinction Rebellion” di London, Senin (7/10). Itu merupakan sebuah aksi global yang menyuarakan tentang perlunya tindakan untuk menangani perubahan iklim.
Para pengunjuk rasa turun ke jalan di Westminster, Lambeth Bridges, Victoria Street, Whitehall, Horse Guards Road dan The Mall. Hal itu menyebabkan aktivitas di sekitar lokasi terhenti. Arus lalu-lintas di Parliament Square pun ditutup. Hanya sepeda dan mobil van polisi yang dapat melintas.
Dalam aksi tersebut, massa menyerukan Pemerintah Inggris mendeklarasikan keadaan darurat iklim dan ekologis. Mereka meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk mencegah dan menghentikan punahnya satwa liar akibat perubah iklim. Massa pun menuntut agar emisi gas rumah kaca dikurangi hingga nol pada 2025.
Sejumlah selebritas dan publik figur di Inggris turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mereka antara lain Sir Mark Rylance, Juliet Stevenson, Ruby Wax, dan Daisy Lowe. "Orang-orang mengatakan kepada saya, tidak ada bedanya memiliki selebriti yang bergabung dalam protes. Tapi saya ingin orang tahu bahwa pemrotes perubahan iklim bukan (kelompok) hippie. Saya yakin protes ini akan mengarah pada perubahan yang solid,” kata Sir Mark kepada kerumunan massa di St James Park, dikutip laman the Telegraph.
Aksi Extinction Rebellion pertama terbentuk di Australia dan Selandia Baru. Para aktivis lingkungan di sana turun dan memblokir jalan-jalan kota. Mereka kemudian membentangkan spanduk yang berisi pesan tentang ancaman perubahan iklim dan mendesak pemerintah segera mengambil tindakan.
Aksi kemudian merembet ke negara-negara Eropa, termasuk Belanda dan Jerman. Aksi tersebut merupakan bagian dari gerakan terkoordinasi yang lebih besar atau disebut “International Rebellion”. Sebanyak 60 kota di seluruh dunia diperkirakan akan menggelar aksi serupa.