REPUBLIKA.CO.ID, AKCAKALE -- Turki mengumumkan persiapan operasi militer di timur laut Suriah telah selesai, Selasa (8/10). Langkah itu diambil setelah Amerika Serikat (AS) mulai menarik kembali pasukan dan membuka jalan bagi serangan Turki terhadap pasukan Kurdi Suriah yang sebelumnya bersekutu dengan AS dalam melawan ISIS.
"Tidak akan pernah mentoleransi pendirian koridor teror di perbatasan kami. Semua persiapan untuk operasi telah selesai," kata Kementerian Pertahanan Turki melalui Twitter, Selasa (8/10).
Laporan Aljazirah dari Akcakale, daerah perbatasan Turki dengan Suriah, mengatakan, pasukan Turki dengan persenjataan berat sudah bergerak pada Selasa. Meski begitu, belum dapat dipastikan kapan operasi militer akan dimulai.
"Sangat penting untuk membangun zona aman atau koridor perdamaian untuk berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas kawasan kami, dan bagi Suriah untuk mencapai kehidupan yang aman," kata pernyataan tersebut.
Juru bicara kementerian luar negeri Turki Hami Aksoy mengatakan, melakukan operasi militer adalah hak fundamental Turki. Upaya itu diperlukan untuk keamanan nasional terhadap ancaman dari Suriah.
"Turki bertekad untuk membersihkan teroris dari timur Eufrat dan melindungi keamanan dan kelangsungan hidup negara sambil menerapkan zona aman untuk mencapai perdamaian dan stabilitas," kata Aksoy dalam sebuah pernyataan.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, Turki berencana untuk memukimkan kembali dua juta pengungsi di Suriah utara. Media Turki mencatat, rancangan pemukiman kembali tersebut akan menghabiskan 151 miliar lira dan dapat menampung 3,6 juta pengungsi Suriah
Langkah operasi militer Turki cukup berani, mengingat Presiden AS Donald Trump memperingatkan akan menghancurkan ekonomi Turki jika mengambil tindakan di Suriah. Menurutnya, tindakan penyerangan merupakan sikap terlarang untuk dilakukan setelah AS menarik mundur pasukan dari Suriah.
Penarikan AS ini berdampak pada posisi Kurdi Suriah. Turki menganggap Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) adalah cabang teroris dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) Ocalan.
Mantan asisten menteri pertahanan AS Lawrence Korb mengatakan, keputusan presiden AS menarik pasukan merupakan bermotif politik. Dia melihat ini dilakukan untuk persiapan pemilihan umum 2020 mendatang.
"Apa yang ditunjukkan ini adalah Presiden Trump tidak seperti pendahulunya baik dari Partai Republik atau Demokrat hanya mementingkan dirinya sendiri. Kami memiliki tanggung jawab moral kepada Kurdi karena tanpa mereka kami tidak akan menghancurkan kekhalifahan," ujar Korb.
Selain AS, Iran mendesak Turki untuk tidak melanjutkan serangan ke Suriah. Televisi pemerintah Iran melaporkan pada hari Selasa (8/10), Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif melakukan panggilan dengan mitranya dari Turki Mevlut Cavusoglu, untuk menyampaikan posisi oposisi Teheran terhadap rencana operasi Turki. Zarif mendesak Turki untuk menghormati integritas dan kedaulatan Suriah.
Zarif menekankan perlunya perang melawan terorisme dan pembentukan stabilitas dan keamanan di Suriah. Perjanjian Adana, merupakan, pendekatan terbaik untuk Suriah dan Turki dan untuk mengatasi masalah yang ada. Meski Turki mengaku upaya tersebut hanya dilakukan sementara.