REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Presiden Taiwan Tsa Ing-wen mengumumkan menolak formula "satu negara, dua sistem" yang digagas China untuk tujuan menyatukan Taiwan dan daratan China, Kamis (10/10). Taiwan mengatakan pengaturan semacam itu telah membuat Hong Kong berada di ujung kekacauan.
Dalam pidato Hari Nasional, Presiden Tsai Ing-wen juga bersumpah membela kedaulatan Taiwan. Ia mengatakan pemerintahnya akan menjaga kebebasan dan demokrasi ketika China meningkatkan tekanan kepada Taiwan.
China sejak lama telah mengusulkan agar Taiwan berada di bawah pemerintahan China yang berarti Taiwan berada di bawah pengaturan yang sama. Namun, Tsai mengatakan kebijakan China terhadap pulau itu berbahaya bagi stabilitas regional.
"China masih mengancam memberlakukan model 'satu negara, dua sistem' untuk Taiwan. Serangan diplomatik dan paksaan militer mereka menimbulkan tantangan serius bagi stabilitas dan perdamaian regional," kata Tsai.
"Ketika kebebasan dan demokrasi ditantang, dan ketika keberadaan dan perkembangan Republik China terancam, kita harus berdiri dan membela diri," kata Tsai, merujuk ke Taiwan dengan nama resminya.
Tsai menegaskan, konsensus luar biasa di antara 23 juta orang Taiwan adalah penolakan warga Taiwan terhadap 'satu negara, dua sistem,' terlepas dari afiliasi partai atau posisi politik. Hari Nasional Taiwan menandai peringatan dimulainya pemberontakan 1911 yang mengarah pada berakhirnya pemerintahan dinasti di China sehingga pendirian republik. Hari ini dirayakan di Taipei dengan menyanyi, menari, dan parade.
Permusuhan Perang Dingin antara pulau itu dan daratan memang telah berkurang selama dekade terakhir atau lebih karena kedua belah pihak lebih fokus pada perluasan ikatan bisnis. Meski demikian, hubungan telah mereda sejak Tsai mulai menjabat pada 2016.
China kemudian mencurigai Tsai dan Partai Progresif Demokratik yang condong pada kemerdekaan untuk mendorong kemerdekaan formal pulau itu. Tahun ini, China mengancamnya dengan perang jika ada langkah seperti itu.
Tsai pun membantah mencari kemerdekaan. Dia menegaskan tidak akan secara sepihak mengubah status quo dengan China. Tsai sempat mengupayakan pemilihan ulang pada Januari di tengah kritik kebijakannya terhadap China. Dia merujuk pada pengaturan kembalinya bekas koloni Inggris Hong Kong ke pemerintahan Cina pada 1997 sebagai kegagalan.
Hong Kong telah dilanda protes anti-pemerintah berbulan-bulan yang dipicu oleh kebencian yang meluas atas intervensi Beijing meski ada janji otonomi. Terlepas dari jaminannya, Beijing telah meningkatkan tekanan pada Taiwan untuk mencari penyatuan kembali. China juga mendukung peringatannya dengan menerbangkan patroli pembom reguler di sekitarnya.
Beijing mengklaim Taiwan tidak memiliki hak untuk hubungan negara-ke-negara dan ingin mengisolasinya secara diplomatik. Tujuh negara telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mengalihkannha ke Beijing sejak Tsai berkuasa. Kini, Taiwan hanya memiliki hubungan diplomatik resmi dengan 15 negara.
Namun Tsai mengatakan, Taiwan tidak gentar. "Tekad rakyat Taiwan merangkul dunia tidak pernah goyah. Taiwan harus bekerja dengan negara yang sepaham untuk memastikan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan," katanya.
Tsai mengatakan, di bawah pengawasannya Taiwan telah meningkatkan kemampuan tempur dengan pembelian senjata canggih dan pengembangan pesawat buatan sendiri. Taiwan diketahui meluncurkan peningkatan belanja pertahanan terbesarnya dalam lebih dari satu dekade Agustus lalu. Tujuannya untuk membeli lebih banyak senjata canggih dari luar negeri.
Pulau ini telah lama menjadi titik api dalam hubungan Amerika Serikat (AS) - China. Pada bulan Juli, AS menyetujui penjualan senjata senilai 2,2 miliar dolar AS ke Taiwan sehingga membuat geram Beijing. AS tidak memiliki hubungan formal dengan Taiwan tetapi terikat oleh hukum untuk membantu menyediakannya dengan sarana mempertahankan diri.