Jumat 11 Oct 2019 21:51 WIB

Biaya Pengobatan Gangguan Jiwa Capai Jutaan per Bulan

Orang dengan gangguan jiwa mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk pengobatan.

Red:
Rumah Sakit (ilustrasi)
Foto: pixabay
Rumah Sakit (ilustrasi)

Dalam satu bulan, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau penyakit mental di Indonesia atau keluarga yang merawatnya bisa mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk pengobatan. Biaya yang mahal ini dianggap berkontribusi terhadap beralihnya pasien ke pengobatan alternatif.

Selain mengalami tantangan stigma negatif, ODGJ di Indonesia dan keluarganya juga harus menghadapi biaya pengobatan yang tidak murah.

Satu kali suntikan obat untuk penderita skizofrenia misalnya bisa menelan biaya hingga jutaan rupiah. Padahal, untuk menstabilkan kondisi ODGJ, diperlukan lebih dari sekali suntikan, belum ditambah obat-obatan oral yang mesti dikonsumsi.

Setidaknya hal itu dikeluhkan Bagus Utomo, ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Selama belasan tahun, ia merawat kakaknya yang menderita skizofrenia.

Kepada ABC, Bagus menuturkan pengorbanan keluarganya dalam mengobati sang kakak.

"Dulu kan enggak ada BPJS, bapak saya kan pensiunan TNI, jadi dianggap miskin enggak, kaya juga enggak, jadi enggak dapat tuh jamkesda, jamkesmas, akhirnya berobat swasta, obatnya mahal banget."

"Waktu kakak saya sakit tahun 1995, obat suntik baru ada Risperdal Consta, itu kurang lebih 1,8 juta sekali suntik, dulu," cerita pria yang berprofesi sebagai pustakawan ini.

Bagus, yang tinggal di Jakarta, mengakui harga obat penyakit mental memang berangsur turun. Apalagi, perkembangan obat-obatan untuk ODGJ juga semakin maju. Namun secara keseluruhan biaya yang ditanggung pasien masih dirasa memberatkan.

"Kalau sekarang, obat suntik yang 3 bulan sekali ada, kalau dulu kan baru sebulan sekali, plus obat-obat oral lagi kan, itu berat banget asli."

"Misalnya obat-obatan yang sekarang aja lah, kaya Abilify, Seroquel, itu kan sekitar 75 ribu sebutir. Kalau sehari dia minum dua kali aja udah berapa? Bisa 3 juta per bulan kali ya yang dikeluarkan untuk pengobatan."

"Belum rawat inap, kalau penderita ngamuk, waduh ...ya puluhan juta akhirnya. Nah ini sangat memberatkan."

"Makanya banyak orang yang berobat ke alternatif karena mahalnya itu," jelasnya.

ABC berbicara dengan dua pasien penyakit mental di Jawa Timur, Ima dan Ani (bukan nama sebenarnya).

 

Ima (32) yang mengalami kecemasan dan depresi psikosomatis mengatakan sejak rutin bertemu psikiater di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya dari bulan Juli, ia telah mengeluarkan biaya sebesar 6 juta.

"Pokoknya sekali datang, ongkos dokter dan dua jenis obat kira-kira sejutaan. Minggu pertama saya sempat konsul dua minggu sekali, habis itu baru sebulan sekali," kata perempuan yang bekerja di BUMN ini.

Sementara Ani (31), yang didiagnosa mengidap penyakit serupa dengan Ima sejak bulan Mei mengatakan, ia sempat mengeluarkan uang sekitar 450 ribu hingga satu juta per bulannya untuk berobat.

Namun kini, ia menggunakan fasilitas BPJS kesehatan setelah ia mengetahui psikiater yang ditemuinya juga berpraktek di rumah sakit milik Pemerintah.

"Berbekal bukti bahwa saya sedang dalam treatment di dokter Sp.KJ, saya ke faskes tingkat 1 yaitu Puskesmas, minta surat rujukan biar bisa pakai BPJS di rumah sakit."

"Dan dikasih dengan mudah. Sekarang saya sudah pakai BPJS full jadi enggak membayar sama sekali," ujar perempuan pemilik usaha kecil di Surabaya ini.

Bagus mengatakan, belum semua Puskesmas di Indonesia memiliki layanan kesehatan mental yang memadai. Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, misalnya, sebagian besar obat untuk penyakit mental sudah tersedia.

Tapi di kota-kota kecil, kondisinya tidak sama. Ketersediaan obat-obat untuk penyakit jiwa sangatlah minim dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sebut Bagus.

"Adanya, obat-obat generasi awal. Misalnya Haloperidol, yang kalau enggak cocok bisa trauma si pasien, karena kaku-kaku, jalannya kaya robot, mau nengok aja harus sama badannya, keluar air liur terus-menerus, matanya jadi kebalik putih semua, kejang, nah ini kan bagi si pasien sangat menderita."

Ia berpendapat, masih beredarnya obat seperti Haloperidol di kota kecil bisa dipahami mengingat harganya cukup murah.

"Kalau haloperidol itu 30 ribu per bulan, murah sekali, tapi obat itu selain efeknya besar, dia tidak menangani gejala negatif pasien seperti kehilangan motivasi, kaya orang malas, cuma bengong aja di rumah."

"Makanya kita perlu obat-obatan yang baik, obat-obatan yang mendukung kemandirian pasien. Karena gejala negatifnya tertangani," kata Bagus.

Ia juga berpesan, jika ODGJ diberikan pengobatan yang bagus maka sebenarnya negara diuntungkan secara ekonomi. Sebaliknya, akan ada imbas yang muncul jika kesehatan mental diabaikan.

"Kalau semua obat-obatan ada di Puskesmas kan enak, enggak perlu jauh-jauh ke kota besar."

"Sekarang begini...pasiennya mau konsul berarti kan keluarga harus nemenin, keluarga kehilangan penghasilan satu hari. Negara jangan enak-enak saja."

"Kalau isu kesehatan jiwa diabaikan, yang tadinya ledakan demografi dipikirkan akan menguntungkan, kalau banyak yang depresi, banyak yang bunuh diri, banyak yang skizofrenia, jadi bumerang loh," ujarnya kepada ABC.

 

Biaya penyakit jiwa meningkat tiap tahunnya

Meski masih jauh di bawah penyakit jantung, biaya pelayanan kesehatan penyakit mental di Indonesia ternyata mencapai triliunan rupiah.

Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyebutkan biaya layanan penyakit mental mencapai 1,25 triliun rupiah di tahun 2018 dengan 3 juta kasus. Sebagai pembanding, di tahun yang sama, biaya layanan penyakit jantung mencapai 10,5 triliun rupiah.

Angka untuk layanan penyakit mental itu meningkat dibanding tahun sebelumnya, yakni 1,09 triliun dengan 2,4 juta kasus.

"Lima tahun belakangan tren-nya meningkat. Biaya layanan penyakit mental di tahun 2014 masih sekitar 590 miliar setahun, kemudian tahun berikutnya masuk 793 miliar."

"Tahun ini, sampai Agustus kemarin, biaya penyakit mental sudah mencapai 586 miliar rupiah," jelas Humas BPJS, M. Iqbal Anas kepada ABC (10/10/2019).

Di sisi lain, tantangan yang dihadapi untuk memberikan pelayanan kesehatan mental yang memadai di Indonesia justru terkait anggaran.

Anggota Komisi IX DPR RI yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Jakarta, Nova Riyanti Yusuf, mengatakan anggaran untuk pencegahan masalah kesehatan jiwa masih tergolong kecil.

"Anggaran kira-kira 24 M setahun, untuk direktorat P2MKJN (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA). Itu dipotong NAPZA kalau enggak salah 7 M gitu, pokoqnya kecil banget."

"Saya tahu ada anggaran rumah sakit, ada anggaran DAK (dana alokasi khusus), tapi beda dong. Promotif-preventif kan harus seluruh Indonesia."

Noriyu, panggilan akrab Nova, justru mempertanyakan komitmen Kementerian Kesehatan terkait pelayanan kesehatan mental.

"Kan ini di bawah direktorat P2P (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit), nah ini pencegahan masa anggarannya segitu?."

"Untuk promosi, emang pencegahan Cuma orang ngomong-ngomong doang? Enggak bisa lagi."

"Kita harus melakukan screening (pemindaian) untuk anak muda, masuk ke sekolah, bangun ekosistem, buat aplikasi, upscaling digital mental health. Kita sudah menghayal jauh-jauh anggarannya cuma segitu, ya susah," keluhnya kepada ABC.

Tantangan lain bagi layanan kesehatan mental di Indonesia adalah jumlah dokter spesialis kejiwaan atau psikiater yang tidak memadai.

"Psikiater ini seolah-olah menjadi profesi yang kurang diminati, karena memang ada stagnansi dalam perkembangan teknologi di bidang kesehatan jiwa di Indonesia. Akhirnya orang juga malas menjadi psikiater."

"Psikiater cuma 1000, Puskesmas 10 ribu, Bagaimana coba? Terus ada yang namanya disparitas. Penyebaran enggak merata."

"Kecuali kalau sistemnya beasiswa, kalau pakai beasiswa bisa dikendalikan spesialis itu. Kalau negara mau hadir, uangnya dong dibanyakin di situ (beasiswa spesialis kejiwaan)," paparnya.

Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement