Sabtu 12 Oct 2019 10:48 WIB

Turki Dituding Serang Pasukan AS di Suriah

AS minta Turki menghentikan operasi militernya di Suriah.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Warga di Provinsi Akcakale Sanliurfa, tenggara Turki yang berbatasan dengan Suriah menyaksikan asap membumbung di wilayah Suriah yang dibombardir pasukan Turki, Kamis (10/10). Turki melakukan operasi militer di perbatasan dengan Suriah.
Foto: AP Photo/Emrah Gurel
Warga di Provinsi Akcakale Sanliurfa, tenggara Turki yang berbatasan dengan Suriah menyaksikan asap membumbung di wilayah Suriah yang dibombardir pasukan Turki, Kamis (10/10). Turki melakukan operasi militer di perbatasan dengan Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) mengatakan, pasukan AS di Suriah mendapatkan serangan misil dari Turki, Jumat (11/10). Atas peristiwa itu, Pentagon menuntut agar Turki segera menghentikan semua operasi militernya.

"Pasukan AS di sekitar Kobani berada di bawah tembakan misil dari posisi-posisi Turki sekitar pukul 21.00 waktu setempat, 11 Oktober," ujar juru bicara Pentagon Kapten Angkatan Laut Brook DeWalt, dikutip dari CNN, Sabtu (12/10).

Baca Juga

DeWalt menjelaskan, ledakan itu terjadi dalam beberapa ratus meter dari lokasi di luar zona Mekanisme Keamanan. Daerah tersebut sudah diketahui Turki terdapat pasukan militer AS berada di sana.

"Amerika Serikat tetap menentang gerakan militer Turki ke Suriah dan terutama keberatan terhadap operasi Turki di luar zona Mekanisme Keamanan dan di daerah-daerah di mana Turki tahu pasukan AS ada," kata DeWalt

DeWalt mendorong Turki untuk menghindari tindakan yang dapat mengakibatkan tindakan defensif dari AS. Mereka tidak mau menanggapi apakah itu serangan disengaja untuk memukul militer AS dari Suriah.

Konfirmasi Pentagon sangat kontras dengan komentar Kementerian Pertahanan Turki tentang insiden tersebut. Kementerian itu mengeluarkan pernyataan bantahan pasukannya telah menembaki pasukan AS di Suriah, Jumat. Serangan tentara Turki, justru menargetkan para pejuang Kurdi di dekatnya.

"Kami dengan tegas menolak klaim bahwa pasukan AS atau Koalisi ditembakkan," ujar Kementerian Pertahanan Turki.

Kementerian Pertahanan Turki menambahkan, Turki tidak menembaki pos pengamatan AS dengan cara apa pun. Semua tindakan pencegahan dilakukan sebelum melepaskan tembakan agar mencegah kerusakan pada pangkalan AS.

"Berhenti menembak setelah menerima informasi dari AS," kata kementerian itu ketika mendapatkan kabar serangan itu mengenai pasukan keamanan AS.

Laporan CNN menyatakan, tembakan artileri Turki telah menghantam beberapa ratus yard dari unit operasi khusus AS. Seorang pejabat AS mengatakan, AS tidak percaya penembakan Turki di dekat pasukan AS yang ditempatkan di dekat Kobani adalah kecelakaan. Kemungkinan serangan itu dirancang untuk memukul mundur AS dari daerah itu. Atas peristiwa pelepasan misil itu, tidak ada pasukan militer AS yang terluka.

Seorang pejabat senior pertahanan AS mengatakan, satu tembakan datang di dekat lokasi pos terdepan tempat pasukan AS berada. Pasukan AS kemudian pindah ke markas terdekat di mana sekelompok pasukan yang lebih besar berkumpul.

Pejabat itu juga mengatakan, tepat setelah ledakan, jet AS berpatroli di daerah itu untuk mencoba menentukan dari mana peluncuran misil itu berasal. Hasil dari penelusuran menyimpulkan, kemungkinan besar itu adalah artileri. Pejabat itu mengatakan, hasil tersebut masih perlu dikonfirmasi.

"Tidak ada kegiatan sejak ledakan dan kami tidak memiliki indikasi ada tembakan yang disengaja pada pasukan AS," ujar pejabat senior lain. Namun, seorang mantan pejabat senior administrasi Trump tidak setuju.

"Ini bukan kesalahan. Pasukan Turki telah menembaki pos militer AS yang diumumkan di Suriah utara. Turki tahu semua lokasi kami hingga ke koordinat grid yang tepat sebagaimana dikonfirmasi oleh Menteri Pertahanan Mark Esper dan ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley, hanya dua jam yang lalu," kata mantan utusan presiden untuk koalisi global melawan ISIS Brett McGurk di Twitter.

McGurk menyatakan, dengan setiap hari serangan Turki yang berlanjut, maka risiko bagi personel militer AS pun akan meningkat. Untuk menyelamatkan pasukan pun akan sulit ketika keputusan tidak segera diambil oleh Presiden AS Donald Trump.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement