Penyesalan datang di penghujung. Lebih tepatnya hampir dua dekade berselang. Padahal, pada awalnya penduduk desa Rukam merasa kaya mendadak. Di tepi sungai Batang Hari, Jambi, beribu hektar hutan peninggalan nenek moyang dijual ke perusahaan sawit.
Tapi harta yang didapat tidak seberapa. Dan ketika rawa gambut diuruk dan sungai dibentengi untuk kebun sawit, mereka mendapati diri terjerumus dalam lingkaran kemiskinan.
"Kalau tidak diperhatikan, desa ini pun bisa hilang," gerutu Datuk Syaefi, tetua desa yang dulu dipaksa menandatangani surat jual beli lahan adat seluas lebih dari 2.000 hektar kepada PT. Erasakti Wira Forestama (EWF).
Hutan yang selama ini menghidupi warga, dijual seharga satu juta Rupiah per tiga hektar, kisahnya.
Kampung di tepi sungai itu terjepit di antara dua kebun raksasa yang menghimpit desa dari dua arah. Pengurukan rawa dan danau gambut merenggut ekosistem ikan tawar yang hidup di hutan. Nelayan yang dulu bisa menghasilkan hingga jutaan Rupiah per hari, kini harus puas dengan tangkapan bernilai tak lebih dari Rp. 100.000.
Rawa gambut yang tumbuh lebat di tepi sungai Batang Hari menyimpan ekosistem unik yang hidup dari siklus banjir alami. Di perutnya dia mengandung sampah organik dari zaman purba. Permukaannya tergenang air hampir sepanjang tahun, yang pekat dan mengandung asam humat.
Desa Nelayan Tanpa Ikan
Belum lama ini Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengajak Universitas Jambi membuat studi di Rukam dan menemukan nilai perekonomian penduduk menghilang sebanyak 90% pasca kemunculan kebun milik PT. EWF. Nilai keuntungan yang dicetak dari sektor perikanan saja mencapai Rp. 26 miliar per tahun.
Namun gambut harus dikeringkan untuk membuka lahan sawit. Siklus alami air yang datang silih berganti sepanjang tahun dikendalikan lewat bendungan, kanal dan pompa air raksasa.
Perlahan tapi pasti, Rukam berubah menjadi desa nelayan tanpa ikan.
"Kalau dulu penghasilan satu hari bisa buat makan satu minggu atau membiayai sekolah anak. Kalau sekarang dapat sehari, habis sehari," kata Alfian, nelayan Rukam berusia 47 tahun. "Jadi baru kita sekarang merasakan kesusahan dibandingkan waktu dulu."
Alfian berasal dari keluarga nelayan. Ayah dan kakeknya berprofesi sama. Namun sang anak kelak harus mencari pekerjaan lain di luar desa. Bekerja mencari ikan di Rukam, kata dia, tidak lagi punya masa depan. "Mungkin nanti anak-anak kami cuma tahu nama saja, ikannya sudah tidak ada," imbuhnya.
Hal serupa dialami nelayan lain. Pengepul yang dulu setiap hari dibanjiri hasil tangkapan untuk dijual ke ibukota provinsi, Jambi, kini harus menunggu berhari-hari untuk menunggu jumlah tangkapan yang cukup agar tetap untung.
"Kalau kayak gini terus bisa-bisa masyarakatnya punah. Karena kehidupan itu sudah tidak ada lagi," tukas Alfian lagi. Menurutnya hanya yang punya lahan yang bisa bertahan hidup di Rukam. Sementara buat mereka yang menyambung hidup dengan mencari ikan atau menjadi buruh di kebun sawit, nasib tak lagi ramah seperti dulu.
"Hutan itu kalau dapat jangan dijual lagi lah. Cukup lah kami masyarakat desa Rukam yang mengalami akibatnya."
Dua Seteru Desa
Siang itu Usman mencangkul di halaman belakang rumah. Tubuhnya berpeluh deras. Suhu udara di tepi Batang Hari masih terasa menyengat usai puncak musim kemarau. Namun tugas menggali sumur resapan tidak bisa ditunda. Kekeringan sudah mengancam sumur-sumur desa.
Keluarga Usman hidup lintas generasi di Rukam. Bagian depan rumahnya terbuat dari batu. Berbanding kontras dengan milik tetangga yang kebanyakan berdinding kayu. Sebuah kulkas dua pintu berdiri kokoh di pojok dapur. Adapun sepeda motor diparkir di halaman depan. Dia dan sang istri sedang berbesar hati karena akan menunaikan ibadah Umrah tak lama lagi.
"Saya tidak ikut-ikutan apapun lagi di desa ini," kata dia saat ditanya mengenai perjuangan warga menuntut tanggung jawab perusahaan atas kerusakan lingkungan. "Kami urus diri sendiri saja."
Ada alasan lain kenapa dia tidak tertarik pada perjuangan penduduk Rukam. Usman ikut mengkampanyekan penjualan lahan kepada PT. EWF. Dia termasuk sekelompok warga yang diundang perusahaan ke perkebunan untuk meyakinkan pemerintah, betapa penduduk menyetujui pembangunan kebun sawit di tepi desa.
Sebab itu pula dia berseteru dengan Datuk Syafei, tetua adat. "Perumpamaannya begini, kalau kita menang semua senang, kalau kita kalah mereka senang,” kata datuk soal perselisihan warga seputar ganti rugi PT. EWF.
Keduanya tidak lagi banyak bertukar kata sejak waktu yang lama.
Bersambung ke halaman berikutnya:
"Kalau bohong, kencingi kuburan saya ramai-ramai"
Syahdan dua dekade silam Indonesia dirundung demam sawit. Saat itu perekonomian negeri sedang dipupuk ulang usai babak belur akibat krisis moneter 1998. Pemerintah memilih bertaruh pada buah ajaib yang sedang digandrungi dunia itu.
Sawit mampu membuat es lambat mencair, melembutkan tekstur lipstik atau menggerakkan mesin sebagai bahan bakar nabati. Ia menggandakan kandungan busa pada sampo, sabun atau deterjen. Dan ia dibuat dengan harga murah.
Seketika pengusaha dan petani di Jambi membidik peluang emas. Di seantero provinsi, hutan gambut yang dulu diacuhkan dan dianggap angker, mendadak diserbu dan disulap menjadi perkebunan.
Greget serupa ikut menghampiri warga desa Rukam tahun 2002. Awalnya Datuk Syaefi meyakinkan penduduk agar memperjuangkan skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR-KPPA) yang meletakkan sebagian besar kepemilikan lahan kepada warga desa. Namun PT. EWF enggan mengikuti skema tersebut. Pihak perusahaan ingin membeli lahan dari masyarakat.
"Mendengar uang ini, masyarakat tergiur. Jadi apa yang saya usahakan melalui pola plasma tidak lagi dihiraukan masyarakat," tutur Syafei.
Saat itu, Lebaran sudah mengetuk di depan pintu. Masyarakat membutuhkan uang cepat. Syaefi yang awalnya menolak menjual lahan, mendapati diri bermusuhan dengan tetangga sendiri.
"Masyarakat berdemonstrasi terhadap saya. Mereka meminta agar tanah dilepas sesuai keinginan perusahaan," kenangnya. "Kalau saya pertahankan maka diri saya ikut terancam," imbuh dia lagi.
Episode muram itu mewariskan ketegangan sosial di kalangan penduduk desa.
"Waktu itu saya sampai mendongkol. Saya berkata kepada penduduk 'kalau memang niat saya tidak baik, nanti kita saksikan kalau umur kita sama-sama panjang. Kalau saya mati duluan dan kalian tidak jadi buruh kasar di perkebunan, maka kencingi kuburan saya ramai-ramai satu desa.'"
Selama dua belas tahun setelahnya Syafei menutup mulut. Namun ketika perusahaan mulai merampungkan tanggul sepanjang 11 kilometer untuk melindungi perkebunan dan menempatkan desa Rukam dalam ancaman banjir, dia tidak bisa lagi bisa berdiam diri. "Karena kelihatannya makin parah, maka mau tidak mau saya mengundang Walhi," kisahnya.
Strategi Membunuh Lahan Warga
Di sebuah hotel di tepi kota Jambi Direktur Walhi Rudiansyah memanggil investigatornya dari seluruh provinsi untuk sebuah penyuluhan. Konflik antara warga dan korporasi sedang bereskalasi di mana-mana. Puluhan LSM abal-abal yang gemar berkeliling menjajakan harapan demi duit warga tidak mempermudah tugas mereka.
Walhi terlibat mengadvokasi warga desa Rukam sejak 2015 silam. Setelah awalnya sempat dicurigai sebagai LSM palsu, Walhi baru bisa meyakinkan Datuk Syaefi usai berhasil membantu menggalang dukungan untuk memaksa perusahaan membuka akses bagi nelayan.
"Desa ini memang cukup unik,” gumamnya. Karena berbeda dengan kebanyakan kasus konflik lahan yang lain, Rukam mengundang masalahnya sendiri saat menjalin kontrak dengan perusahaan. Meski demikian Walhi tetap turun tangan mengadovkasi warga.
Atas anjuran Rudi, warga Rukam kini berkonsentrasi pada tuntutan yang realistis, ketimbang permintaan selangit yang mustahil diwujudkan. Tuntutan kepada PT. EWF itu berupa pembangunan petak sawah dan budidaya ikan, serta jaminan akses air bersih. Pihak perusahaan sendiri sudah menyanggupi tuntutan tersebut. Namun realisasinya nihil hingga kini.
Ironisnya meski dirundung kerusakan lingkungan, sebagian warga masih menjual sisa lahan yang mereka miliki kepada perusahaan. Rudiansyah menilai sikap itu muncul dari rasa "pesimis masyarakat karena melihat kita tidak mungkin bisa melawan perusahaan."
Pilihan lain, kata dia, membiarkan lahan dicaplok secara sepihak oleh perusahaan seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya. "Atau perusahaan sengaja mematikan lahan agar tidak lagi produktif," sehingga terpaksa harus dijual, imbuhnya. "Ini sudah menjadi strategi korporasi."
Ed: Vlz/yp