REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Yeyen Rostiyani
Bencana topan Hagibis yang menghantam Jepang Ahad (13/10) pagi ternyata membawa keuntungan tersendiri bagi sebuah band disko di Filipina. Apalagi, band disko tersebut sudah memiliki rentang sejarah empat dekade.
Lantas, apa kaitan salah satu topan terkuat dalam sejarah modern Jepang dengan band disko Filipina? Rupanya, keduanya memiliki persamaan nama: Hagibis.
Foto-foto yang ditampilkan kantor berita Reuters bahkan menampilkan warga kerap mengajak personel band --yang tentu kini sudah tak muda lagi-- berswafoto. Nama band mereka kembali melambung.
Band Hagibis mulai dibentuk 1979 silam. Di Filipina, para personelnya dikenal sebagai "warga desa". Seluruh personelnya pria.
Band Hagibis terkenal karena para anggotanya berpenampilan macho dan lagu-lagu mereka memuja kecantikan wanita. Lagu mereka yang pernah terkenal antara lain Ketawan, Legs, dan Babae.
Waktu boleh berjalan hingga empat dekade. Banyak hal yang sudah berubah dalam kurun waktu tersebut. Namun, sejumlah ciri khas tetap mereka pertahankan demi ciri khas di panggung. Ciri khas itu antara lain celana hitam ketat, jaket kulit, kemeja dengan kancing terbuka, kacamata hitam, kumis, dan gerakan goyang joget khas.
"Hagibis menjadi terkenal lagi di seluruh dunia secara tidak langsung," kata pemimpin band, Jose Parsons Nabiula (61 tahun) yang memiliki nama panggung Sonny Parsons.
"Ini mengingatkan kembali kepada setiap orang akan keberadaan band saya... memang ada sejumlah orang yang mengolok-oloknya, namun ada sejumlah orang lain yang menanggapi serius," kata Parsons.
Google Trends menunjukkan mesin pencari itu menampilkan peningkatan aktivitas pencarian sepanjang pekan ini untuk kata Hagibis. Pencarian kata itu mengacu pada bank dan juga pada topan.
Dalam bahasa Filipina, yaitu Tagalog, hagibis antinya kecepatan dan kekuatan. Topan yang mendarat di Jepang juga diberi nama Hagibis karena mengikuti penamaan topan tersebut di 14 negara yang ada di kawasan yang dilewatinya.
Menurut Parsons, orang mengolok-olok dengan membandingkan kekuatan topan Hagibis dengan band disko mereka. Ia hanya berharap agar minat orang yang meningkat terhadap Hagibis akan menjadi panen pertunjukan juga untuk band Hagibis mereka. Selama ini, band Hagibis tampil dua kali dalam sebulan di seputaran Manila.
"Siapa tahu dalam satu atau dua bulan ini saya akan mendapatkan tawaran konser," ucap Parsons, pria yang pernah menjadi pejabat dan juga sempat berkarier di dunia akting dan bisnis konstruksi.
Namun, bukan berarti Parsons tak peduli pada topan Hagibis. "Semoga saja 'pertunjukan' Hagibis hanya terjadi di tengah laut," katanya. "Tentu saja orang akan terimbas oleh topan Hagibis dan saya merasa khawatir."
Topan Hagibis memang tidak mendarat di Filipina. Namun, dampaknya menyebabkan hujan dan guntur di wilayah Asia Tenggara tengah dan selatan.
Parsons berharap, band-nya bisa tampil di Jepang setelah topan Hagibis usai. "Kami akan menghapus kesedihan dan ketegangan orang-orang di sana," kata Parsons. "Jika kelompok penyanyi ini punya kesempatan ke Jepang, kami akan membantu Anda melupakan sang topan." n reuters