Setahun yang lalu, Pedro, bukan nama sebenarnya memiliki pekerjaan dengan gaji yang tinggi sebagai seorang staff ahli untuk Presiden Ekuador. Sekarang di Australia, ia bekerja mengantarkan pesanan makanan dengan sepedanya setiap harinya.
Pedro dan Claudia, pindah ke Australia pada awalnya untuk belajar bahasa Inggris dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan di bidang mereka sebelumnya.
Setelah memiliki karier yang sukses di sektor pelayanan umum di negaranya, tadinya Pedro berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang sama di Australia.
Tapi setelah berbulan-bulan mencoba melamar, ia tak pernah mendapat panggilan., Hingga akhirnya ia sadar bersepeda sambil mengirimkan makanan menjadi pilihan yang lebih masuk akal.
Survei nasional 'Australia Talks' menemukan 80 persen warga Australia mengalami masalah dengan pengangguran. Data survei tersebut juga menunjukkan satu dari empat orang merasa sangat takut jika akan kehilangan pekerjaannya dalam 12 bulan ke depan.
Termasuk di kalangan warga yang memiliki latar belakang budaya lain, terutama pendatang yang baru tiba di Australia, yang 46 persen melihat kepastian pekerjaan menjadi sebuah masalah. "Australia adalah untuk penduduk Australia," ujar Pedro.
Ia memegang visa pelajar dengan waktu bekerja yang dibatasi dan karenanya Pedro memilih untuk terjun ke industri 'gig economy', seperti layanan Uber Eats, meski bayarannya tidak selalu pasti.
"Penghasilan saya sekitar AU$ 600 - 900 [kurang dari Rp 6 juta sampai 9 juta] per minggu," ujarnya.
Robert Chang, usia 27 tahun, juga bekerja mengirimkan pesanan makanan, meski sebagai pekerjaan keduanya.
Setelah waktu kerja, atau 'shift' yang panjang mengirimkan surat dan paket pos, Robert bekerja hampir 13 jam di akhir pekan untuk Uber Eats di Sydney.
"Orang-orang perlu bekerja lebih keras di Sydney, ini tempat yang mahal," ujarnya yang mencoba menabung untuk uang muka beli rumah.
Karenanya ia mengaku "tidak terlalu memiliki kehidupan", karena hanya bekerja, makan, tidur, dan selalu berulang setiap harinya.
Ini pun sesuai dengan hasil survei 'Australia Talks' yang menemukan tidak ada keseimbangan antara bekerja dan hidup mereka.
Tapi menjadi sopir bus malah menjadi pilihan Rita Gunawan, asal Indonesia, yang bersama suaminya, Edwin Kusuma, bekerja dengan untuk perushaan transportasi di Sydney.
Ia merasa dengan menjadi sopir bus tanpa jam kerja lebih memiliki banyak waktu luang dengan keluarganya.
"Kami ada waktu untuk mengurus keperluan keluarga, seperti mengantar anak atau orangtua ke dokter, menghadiri kegiatan sekolah anak di siang hari dan mengantar orangtua belanja."
Rita pindah ke Australia di tahun 2010 dan sebelumnya ia bekerja sebagai kepala keuangan di perusahaan distributor listrik di Jakarta.
Ada sejumlah warga Indonesia yang menjadi sopir bis di Australia dengan pendapatan yang cukup besar, meski kadang pekerjaan mereka dianggap "remeh" oleh teman dan keluarganya sendiri di Indonesia.
Sementara pasangan Wade dan Ebony Cattley memilih mengantarkan makanan sebagai sumber penghasilan lainnya, tapi juga ada manfaat bagi hubungan keduanya.
"Seringkali ia pulang pukul 8 atau 9 malam, kita tidak terlalu sering menghabiskan waktu bersama," ujar Ebony.
"Jadi saat kita melakukan Uber Eats, ini menjadi waktu dimana kita bisa saling bersama."
Wade bekerja sebagai sopir truk dan merasa "penghasilannya cukup baik", tapi tidak cukup untuk membiayai dua orang di Sydney, terutama karena istirnya memiliki kelainan dan tidak terlalu bisa bekerja.
Survei Nasional 'Australia Talks' bertanya kepada mereka yang tinggal di Australia soal kehidupan dan apa yang selalu ada dalam pikiran mereka. Anda yang tinggal di Australia bisa ikut serta dalam survei ini lewat halaman interaktif berikut.