Rabu 16 Oct 2019 09:33 WIB

Sang Robot akan Pimpin Tunisia

Saeid kerap dijuluki robot karena sikapnya yang keras.

Profesor hukum Tunisia Kais Saied berbicara kepada wartawan, Ahad (13/10). Ia diprediksi memenangkan pemilihan presiden Tunisia.
Foto: AP Photo/Mosa'ab Elshamy
Profesor hukum Tunisia Kais Saied berbicara kepada wartawan, Ahad (13/10). Ia diprediksi memenangkan pemilihan presiden Tunisia.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Fergi Nadira

Baca Juga

Jalan menuju kursi kepresidenan Tunisia terbentang luas bagi Kais Saied (61 tahun). Tanpa dukungan partai politik mana pun, mantan profesor hukum ini meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum (pemilu) yang digelar Ahad (13/10) lalu. Ia menyebut pemilu itu sebagai revolusi baru.

Saeid kerap dijuluki robot karena sikapnya yang keras. Saied menjalankan kampanye yang cerdas, tanpa iklan, dengan pesan integritas dan antikorupsi yang ditargetkan pada pemilih muda Tunisia.

Komite Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa Saied memperoleh 73 persen suara dalam pemilihan presiden putaran kedua. Dalam pemilu kali ini, ia menentang bos media Nabil Karoui (56 tahun) yang berkampanye dari balik jeruji besi sebab dituduh melakukan pencucian uang dan penipuan pajak.

Exit poll menunjukkan bahwa Saied mendapat banyak dukungan yang sebagian besar di antara pemilih muda. Tidak lama setelah exit polls keluar, presiden terpilih muncul di depan pendukung yang bersorak gembira di Tunis. Dia mengucapkan terima kasih kepada generasi muda untuk membuka halaman baru dalam sejarah Tunisia.

"Kita akan mencoba membangun Tunisia baru. Kaum muda memimpin kampanye ini dan saya bertanggung jawab untuk mereka," katanya diapit oleh keluarganya, seperti dilansir BBC, Selasa (15/10).

Beberapa pemilih memutuskan memilihnya dengan reputasi Saied yang tidak korup. "Saied bersih dan mewakili kita. Kami tahu betul bahwa ia tidak memiliki 'tongkat sihir'," kata seorang siswa.

Saied berada di komite ahli yang membantu parlemen menyusun konstitusi Tunisia pasca-Arab yang diadopsi pada 2014. Dia kadang-kadang muncul di televisi sebagai komentator politik.

Sebelum pemilihan, dia mengumumkan bahwa dia tidak akan berkampanye saat saingannya berada di penjara. Dia telah menjanjikan reformasi pemilu, termasuk perubahan pemilihan lokal untuk perwakilan daerah.

Namun, para kritikus telah menyerang pandangan sosial konservatifnya. Dalam wawancara dengan sebuah surat kabar lokal, ia dituduh dengan kekuatan asing mendorong homoseksualitas di negara itu.

Dia mendukung pemulihan hukuman mati, yang ditangguhkan sejak 1994 di Tunisia. Dia juga menentang warisan yang sama bagi pria dan wanita.

photo
Seorang ibu dengan ditemani anaknya memberikan suara dalam pemilihan umum putaran pertama di Tunis, Tunisia, Ahad (15/9).

Komite Pemilihan Umum negara menyatakan sebanyak 55 persen pemilih terdaftar untuk memilih dan memberikan suara mereka. Sementara itu, rivalnya, Karoui, mengakui kekalahan setelah mengirim pesan ucapan selamat selama pemilihan. "Saya ingin mengucapkan selamat kepada Anda atas pemilihan Anda sebagai presiden," katanya dikutip the Guardian.

Meski sebelum pemungutan suara ia mengeluh bahwa yang dihadapainya bukan kampanye yang adil karena ia dibebaskan oleh perintah pengadilan hanya empat hari sebelum pemilihan. Pada putaran pertama pemungutan suara, Karoui mendapat 15,6 persen suara, sedangkan Saied 18,4 persen.

Pemilihan Tunisia dimajukan setelah kematian presiden Tunisia pertama yang terpilih secara demokratis, Beji Caid Essebsi, Juli lalu. Dia menjabat pada tahun 2014, tiga tahun setelah pemberontakan rakyat yang menyebabkan penggulingan penguasa lama, Zine al-Abidine Ben Ali, dan memicu Musim Semi Arab.

Para wartawan mengatakan bahwa meski Musim Semi Arab memberi demokrasi Tunisia delapan tahun yang lalu, hal itu tidak memberikan manfaat ekonomi yang mereka harapkan. n reuters ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement