REPUBLIKA.CO.ID, MADRID – Kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Katalunya melakukan aksi demonstrasi pada Rabu (16/10). Mereka memprotes keputusan pengadilan Spanyol menjatuhkan hukuman antara sembilan dan 13 tahun penjara kepada para pemimpin Katalunya yang terlibat dalam inisiatif referendum kemerdekaan pada 2017 lalu.
Dalam aksi tersebut, massa memblokir jalan dan memutus layanan kereta api di wilayah timur laut Katalunya. Pemerintah Spanyol menyatakan akan menindak tegas para demonstran untuk tetap menjaga ketertiban di sana.
Menteri Dalam Negeri Spanyol Fernando Grande-Marlaskan mengatakan pemerintah pusat terus mengamati perkembangan situasi di Katalunya. Madrid akan turun tangan jika situasi di sana tak lagi bisa ditangani. “Sampai hari ini kita tidak perlu membuat orang cemas,” ujarnya.
Pada Selasa lalu, massa pendukung kemerdekaan Katalunya terlibat bentrok dengan aparat kepolisian. Setidaknya 43 orang dilaporkan mengalami luka-luka. Bentrokan itu terjadi sehari setelah pengadilan Spanyol menjatuhkan hukuman penjara kepada para pemimpin Katalunya karena turut berperan dalam penyelenggaraan referendum kemerdekaan pada 2017.
Setelah vonis tersebut, Mahkamah Agung Spanyol merilis surat perintah penangkapan terhadap mantan pemimpin Katalunya Carles Puigdemont. Saat ini dia tengah tinggal di pengasingan di Belgia.
Kantor Kejaksaan Belgia mengatakan telah menerima surat penangkapan tersebut. Namun, belum diketahui apakah Brussels akan mengeksekusi surat perintah penangkapan dari Spanyol tersebut. Belgia diketahui telah menolak dua permintaan ekstradisi sebelumnya.
Upaya kemerdekaan Katalunya telah memicu krisis politik terbesar di Spanyol dalam beberapa dasawarsa terakhir. Respons Spanyol terhadap kelompok pro-kemerdekaan sedang diawasi dengan ketat oleh negara-negara Eropa lainnya.
Katalunya telah menggelar referendum kemerdekaan pada 1 Oktober 2017. Saat itu situasi cukup tegang karena aparat keamanan Spanyol berusaha menutup tempat pemungutan suara dan membubarkan massa yang hendak memberikan suaranya. Kendati demikian, pemungutan suara tetap berlangsung.
Hasil referendum itu menunjukkan lebih sekitar 90 persen warga Katalunya menghendaki pemisahan diri dari Spanyol. Kala itu, pemimpin Katalunya Carles Puigdemont tidak mendeklarasikan kemerdekaan wilayahnya secara tegas dan eksplisit, tapi justru menggunakan hasil referendum untuk bernegosiasi dengan Madrid.
Namun, Pemerintah Spanyol enggan meladeni Puigdemont karena menganggap referendum kemerdekaan itu adalah ilegal. Setelah tarik menarik, parlemen Katalunya akhirnya memutuskan mendeklarasikan kemerdekaan.
Pasca-deklarasi, Pemerintah Spanyol segera mengaktifkan pasal 155 Konstitusi Spanyol. Dengan aktifnya pasal tersebut, Madrid memiliki wewenang mengambil alih dan mengontrol langsung pemerintahan otonom Katalunya.
Perdana menteri Spanyol kala itu, Mariano Rajoy, segera memecat Puigdemont sebagai pemimpin Katalunya. Ia pun memberhentikan wakil dan semua menteri regionalnya. Setelah itu Pengadilan Tinggi Spanyol menerbitkan surat perintah penangkapan Eropa terhadap Puigdemont dan empat anggota kabinetnya yang telah bertolak ke Belgia.
Perselisihan antara pemerintah Katalunya dan Spanyol saat ini dianggap merupakan yang terburuk dalam beberapa dekade terkahir. Apalagi, pemerintah Spanyol telah mengaktifkan pasal 155 Konstitusi Spanyol. Pasal 155 Konstitusi Spanyol tahun 1978 tidak pernah diaktifkan selama empat dekade terakhir, tepatnya ketika demokrasi dipulihkan pada akhir era kediktator Jenderal Francisco Franco.