Tepuk tangan menghambur pelan ketika Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa menuntaskan sidang umum di New York, AS, untuk memilih 14 anggota baru. Kelak Indonesia yang mendapat 174 suara akan bersanding dengan Venezuela, Mesir dan Arab Saudi untuk mengawal isu HAM di dunia.
"Dukungan terhadap Indonesia adalah amanah dan bukti kepercayaan internasional dan Indonesia memiliki rekam jejak dan kontribusi yang tinggi dalam pemajuan HAM melalui kerja sama internasional" kata Menteri Luar Negeri RI di Jakarta dalam keterangan pers Kemenlu, Jumat (18/10).
Meski pemilihan Indonesia sebagai anggota baru tidak memicu polemik sebesar keanggotaan Venezuela, keputusan tersebut tetap menimbulkan tanda tanya besar soal keseriusan Dewan HAM PBB dalam menjalankan fungsinya mempromosikan dan melindungi hak sipil di seluruh dunia.
"Sederhananya ini bikin malu," tutur pegiat HAM Andreas Harsono kepada DW. "Karena Indonesia di dalam sidang itu, tentunya kita diharapkan punya reputasi yang lebih baik," imbuhnya merujuk pada lusinan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di era Joko Widodo.
Menurutnya "Indonesia mendapatkan suara ini lebih karena situasi politik. Artinya lobi-lobi politik Kemenlu berhasil."
Tapi bukan berarti Indonesia memiliki "posisi moral yang baik" untuk mendikte pengentasan isu pelanggaran HAM di dunia.
"Seharusnya kesempatan ini dipakai pemerintahan Joko Widodo untuk berani mengambil langkah-langkah yang sesuai standar internasional. Pemerintahan Jokowi kedua harus punya keberanian moral untuk bilang 'kita ini dapat 174 suara di PBB, masak pekerjaan rumah masih berantakan'," kata Andreas.
Dalam nota diplomatik yang diajukan Indonesia untuk melamar keanggotaan Dewan HAM, Kemenlu menggarisbawahi komitmen Indonesia untuk mempromosikan dan melindungi semua hak sipil. Tapi menurut Andreas, "kita tidak leluasa berbicara soal Uighur atau Rohingnya, kalau kita sendiri tidak menunjukkan keinginan untuk menghormati HAM," tuturnya.
Status keanggotaan di Dewan HAM PBB diyakini memperbesar pengaruh pemerintah untuk melindungi kepentingan Indonesia dalam isu HAM, seperti masalah di Papua.
Pada pertengahan September silam Vanuatu dan Kepulauan Solomon membawa isu kemanusiaan di Papua ke Dewan HAM PBB. Langkah itu diambil untuk menindaklanjuti deklarasi Forum Pemimpin Kepulauan Pasifik di Tuvalu yang mendesak Jakarta memenuhi janjinya memberikan akses bagi Utusan HAM PBB untuk berkunjung ke Papua.
Menurut Andreas, isu Papua harus dituntaskan di dalam negeri, bukan di forum internasional. "Papua adalah lubang hitam dalam persoalan HAM di Indonesia. Kita tidak bisa terus-terusan menutup mata terhadap rasialisme yang kita lakukan terhadap orang berkulit hitam berrambut kriting seperti orang Papua. Ini harus dihentikan," kata dia.
Polemik seputar Indonesia tenggelam di balik terpilihnya Venezuela sebagai anggota Dewan HAM. Negeri yang sedang babak belur akibat krisis politik dan ekonomi itu mendapat 105 suara.
Bahkan Brazil ikut melontarkan kritik pedas. "Pemilihan Venezuela menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat internasional atas bencana kemanusiaan yang terjadi di sana," tulis Kementerian Luar Negeri dalam keterangan persnya.
Ironisnya atas pemilihan Brazil, organisasi HAM Human Rights Watch mengritik betapa Presiden Jair Bolsonaro mengadopsi "retorika berbahaya terkait norma-norma HAM" dan "memberikan lampu hijau kepada jejaring kriminal yang merusak hutan Amazon."
rzn/vlz (ap, kemenlu, rtr)