REPUBLIKA.CO.ID, KABUL — Ledakan bom bunuh diri di sebuah masjid di Provinsi Nangarhar, Afghanistan merenggut 62 nyawa warga sipil, Jumat (18/10) waktu setempat. Bom yang meledak saat warga sedang shalat Jumat itu juga membuat sedikitnya 100 orang mengalami luka-luka.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas aksi peledakan bom tersebut. Lewat Juru Bicara Presiden Ashraf Ghani, Sediq Sediqqi, mengatakan bahwa pemerintah mengutuk keras aksi ledakan bom tersebut.
Meski belum ada yang mengaku bertanggung jawab, tetapi Sediq menuding keterlibatan kelompok Taliban dalam aksi mematikan tersebut. “Pemerintah Afganistan mengutuk keras serangan itu. Taliban dan mitra mereka melakukan kejahatan keji yang terus menerus menargetkan warga sipil saat sedang beribadah,” begitu kata Seddiq, seperti dikutip dari Aljazirah, Sabtu (19/10).
Akan tetapi, tudingan Sediq tersebut mendapat bantahan dari kelompok Taliban. Juru Bicara Taliban, Suhail Shaheen, menegaskan bahwa kelompoknya tak bertanggung jawab atas insiden di Nangarhar. Alih-alih mengaku, Suhail menuding ledakan itu berasal dari serangan pemerintah sendiri.
"Semua saksi mengatakan, itu adalah serangan mortir yang dilakukan pasukan administrasi di Kabul," kata Suhail.
Saat kedua belah pihak saling tuding, jumlah korban dari ledakan itu dipastikan akan bertambah. Masjid yang menjadi lokasi ledakan menampung sekitar 350 jamaah saat insiden berdarah itu terjadi.
"Jumlah korban kemungkinan akan bertambah. Itu karena saat ini, proses evakuasi dan penyelamatan sedang dilakukan direruntuhan masjid yang hancur," kata anggota dewan di Provinsi Nangarhar, Sohrab Qaderi.
"Ini adalah pemandangan yang memilukan untuk dilihat,” kata tokoh adat di Nangarhar, Malik Gul Shinwari.
Ia memastikan, masjid yang menjadi objek ledakan, hancur dan mulai rubuh sampai ke tanah. Ledakan di Provinsi Nangarhar kali ini menjadi salah satu serangan bom bunuh diri terparah yang terjadi di Afghanistan dalam setahun terakhir.
Serangan bom bunuh diri itu pun terjadi sehari setelah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengumumkan tingkat kekerasan yang meningkat di Afghanistan. Dalam catatan PBB, hanya dalam waktu tiga bulan antara 1 Juli sampai 30 September, sudah tercatat 1.174 kematian akibat kekerasan di Afganistan. Sekitar 3.139 orang lainnya, juga mengalami luka-luka selama periode tersebut.
Menurut PBB, kekerasan yang meningkat dan jumlah kematian dan luka-luka yang masif di Afghanistan terkait dengan aksi-aksi paramiliter yang digencarkan kelompok-kelompok bersenjata antipemerintahan. PBB menuding Taliban dan jaringan terorisme global, ISIS, termasuk dalam kelompok tersebut. PBB mengkhawatirkan, kekerasan-kekerasan lanjutan akan membuat Afghanistan kembali ke zona peperangan sipil.