REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ribuan demonstran kembali turun ke jalan-jalan di Kota Beirut, Lebanon pada Sabtu (19/10) waktu setempat. Pada hari ketiga aksi ini, para demonstran kembali memprotes elite politik korup yang dianggap bertanggung jawab atas krisis ekonomi di Lebanon.
Reuters melaporkan, para pengunjuk rasa berbaris, memblokir jalan, hingga suasana sempat memanas di pusat Kota Beirut. Pada sore hari, lagu-lagu patriotik terdengar dari pengeras suara peserta aksi, diikuti ledakan kembang api di atas lautan demonstran yang memegangi spanduk bertuliskan 'bersatu melawan politisi yang korup'.
“Negara ini sedang bergerak menuju kehancuran total. Rezim ini telah gagal memimpin Lebanon dan harus digulingkan dan diganti,” kata peserta aksi, Mohammad Awada (32 tahun) yang kini tengah menganggur.
Kerusuhan terbaru terjadi karena kemarahan atas meningkatnya biaya hidup dan rencana pajak baru, termasuk biaya panggilan WhatsApp. Perdana Menteri Saad al-Hariri memberi tenggat waktu 72 jam kepada mitra pemerintahannya untuk menyetujui reformasi yang dapat menangkal krisis ekonomi. Hal ini mengisyaratkan bahwa ia mungkin akan mundur.
Protes yang melanda Lebanon saat ini telah menarik kembali ingatan pada insiden pemberontakan Arab 2011 yang menggulingkan empat presiden. Warga Lebanon dari semua sekte agama bersama-sama membawa spanduk dan menyanyikan: "Rakyat menginginkan kejatuhan rezim."
Sementara itu, dalam pidato di televisi pemimpin Hizbullah Sayyed Hassan Nasrallah mengatakan bahwa kelompok itu menentang pengunduran diri pemerintah. Menurut dia, negara tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan hal itu, mengingat krisis ekonomi sudah sangat luar biasa.
"Semua orang harus mengambil tanggung jawab (untuk memperbaiki situasi ekonomi negara). Daripada disibukkan dengan menyelesaikan urusan politik, lebih baik memikirkan nasib negara. Kita semua harus memikul tanggung jawab dari situasi saat ini," kata Nasrallah.
Pemimpin Hizbullah ini mengakui bahwa aksi demonstrasi tersebut jujur dan spontan dari masyarakat. Namun ia memperingatkan bahwa kelompoknya sebagai pendukung presiden berkuasa, Michel Aoun, tidak akan mengizinkan kekuasaan jatuh. Dia juga mengingkatkan bahwa kelompoknya memiliki persenjataan yang kuat dan canggih.