Senin 21 Oct 2019 08:58 WIB

6.000 Pengungsi Rohingya akan Dipindah ke Sebuah Pulau

Kelompok HAM telah memperingatkan risiko pemindahan para pengungsi ke Bhashan Char.

Barang dan pakaian milik pengungsi yang tersisa di Kamp Pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, (20/9/2017).
Foto: Cathal McNaughton/Reuters
Barang dan pakaian milik pengungsi yang tersisa di Kamp Pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, (20/9/2017).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA – Sebanyak 6.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh setuju direlokasi ke sebuah pulau di Teluk Benggala. Bangladesh telah lama ingin memindahkan para pengungsi dari wilayah perbatasannya dengan Myanmar.

"Sekitar 6.000 hingga 7.000 pengungsi telah menyatakan keinginan mereka untuk dipindahkan ke Bhashan Char," ujar Komisioner pengungsi Bangladesh, Mahbub Alam, seperti dikutip laman Aljazirah, Ahad (20/10).

Baca Juga

Dia tak mengungkapkan kapan proses relokasi akan dilakukan. Tapi, seorang perwira senior Angkatan Laut Bangladesh yang terlibat dalam pembangunan fasilitas di Bhashan Char mengatakan, pemindahan bisa dimulai pada Desember 2019.

Nur Hossain (50 tahun) merupakan salah satu pengungsi Rohingya yang bersedia direlokasi ke Bhashan Char. Keputusan itu diambilnya setelah melihat rekaman video yang menunjukkan fasilitas penampungan di sana. "Saya setuju untuk pergi, kamp di sini (di Leda) sangat padat, ada masalah pangan dan perumahan," kata Hossain.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan tentang risiko pemindahan para pengungsi ke Bhashan Char. Mereka menilai, pulau itu rentan dan tak mampu menahan terjangan badai.

Seorang warga yang tinggal di Pulau Haitya berlokasi dekat dengan Bhashan Char mengatakan, pulau yang akan dijadikan tempat penampungan pengungsi Rohingya itu tak layak huni. Sebagian pulau terkikis oleh musim hujan setiap tahun. "Pada saat itu kami tidak pernah berani pergi ke pulau tersebut. Jadi, bagaimana ribuan Rohingya akan tinggal di sana," ujarnya.

Terkait hal itu, Mahbub Alam mengatakan, infrastruktur keselamatan telah dibangun di Bhashan Char. Hal tersebut mencakup tanggul setinggi tiga meter di sepanjang garis pembatasnya untuk mencegah gelombang pasang selama badai. Bangladesh juga telah membangun gudang untuk menyimpan ransum berbulan-bulan.

Belum ada komentar dari PBB mengenai rencana relokasi ribuan pengungsi Rohingya ke Bhashan Char. Saat berpidato di sidang Majelis Umum PBB pada September lalu, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyinggung tentang krisis Rohingya.

Menurut dia, penyelesaian masalah dan krisis Rohingya sangat bergantung pada Myanmar. "Myanmar harus mewujudkan kemauan politik yang jelas untuk kembalinya (pengungsi) Rohingya yang aman, berkelanjutan, dan bermartabat," kata Hasina.

photo
Pengungsi Rohingya.

Dia mengusulkan empat poin untuk menyelesaikan krisis Rohingya dan mempercepat proses repatriasi. Hal itu termasuk pencabutan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan Myanmar Tahun 1982. UU itu diketahui menyisihkan Rohingya sebagai warga negara, sehingga mereka yang kini mengungsi di Bangladesh tak memiliki keyakinan untuk kembali ke kampungnya.

Hasina pun menyarankan otoritas Myanmar mengajak perwakilan pengungsi Rohingya untuk mengunjungi dan berkeliling Rakhine. Hal itu dilakukan dengan pendampingan perwakilan lembaga internasional. Dengan demikian, para pengungsi memiliki penilaian sendiri apakah mereka aman untuk kembali atau tidak.

Dia berpendapat, hingga saat ini, Myanmar masih gagal menciptakan lingkungan yang kondusif di Rakhine. "Sampai sekarang, tidak ada satu pun Rohingya yang kembali ke negara asalnya karena kegagalan Myanmar mengembangkan lingkungan yang aman dan sehat di Rakhine," ujar Hasina.

Pada Agustus 2017 lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

Pada Agustus 2018 Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.

Laporan itu menyerukan para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).n kamran dikarma, ed: qommarria rostanti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement