REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran menolak pendirian pos militer Turki di Suriah. Teheran mengatakan Ankara harus menghormati kedaulatan wilayah Damaskus.
“Kami menentang pendirian pos-pos militer Turki di Suriah. Masalah tersebut harus diselesaikan dengan cara diplomatik. Integritas (wilayah) Suriah harus dihormati,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi, Senin (21/10).
Iran merupakan sekutu utama Presiden Suriah Bashar al-Assad. Bersama dengan Rusia, mereka telah membantu Assad memerangi kelompok milisi dan oposisi bersenjata di negara tersebut.
Pada Kamis pekan lalu, Turki dan Amerika Serikat (AS) menyetujui gencatan senjata selama lima hari di Suriah. Hal itu untuk memberi waktu bagi pasukan Kurdi menarik diri dari “zona aman” yang hendak didirikannya di dekat perbatasan Turki-Suriah.
Zona aman itu nantinya akan dibangun permukiman untuk ditempati para pengungsi Suriah. Akhir pekan lalu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya akan melanjutkan serangan militer ke Suriah timur laut jika kesepakatan dengan AS mengenai penarikan pasukan Kurdi dari dekat perbatasannya tak sepenuhnya dilaksanakan.
Turki memulai operasi militer di timur laut Suriah pada 9 Oktober lalu. Mereka ingin menumpas pasukan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) dan Partai Persatuan Demokratik Suriah (PYD). Ankara memandang YPG sebagai perpanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
PKK adalah kelompok bersenjata Kurdi yang telah melancarkan pemberontakan di Turki tenggara selama lebih dari tiga dekade. Turki telah melabeli YPG dan PKK sebagai kelompok teroris.
Beberapa negara Arab, seperti Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) telah mengecam operasi militer tersebut. Menurut mereka, selain mengancam stabilitas kawasan, aksi militer Turki dianggap melanggar kedaulatan Suriah.