REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak seruan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk memperpanjang gencatan senjata di Suriah. Turki sedang menggelar operasi militer di negara tersebut untuk memerangi pasukan Kurdi.
“Tidak ada proposal seperti itu (gencatan senjata) yang disampaikan kepada saya dari Macron. Sebenarnya Macron berbicara tentang hal-hal seperti itu sebagian besar dengan teroris,” kata Erdogan, Selasa (22/10), dikutip The Times of Israel.
Pernyataan Erdogan merujuk pada pertemuan antara Macron dan juru bicara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Jihane Ahned. Menurut Erdogan, Macron memang lebih suka mengomunikasikan tawaran teroris kepada negaranya.
“Prancis bukan teman bicara kita,” ucapnya.
Pada Senin lalu, Macron mengutarakan keinginannya melihat perpanjangan gencatan senjata di Suriah. “Presiden menggarisbawahi pentingnya memperpanjang gencatan senjata saat ini dan mengakhiri krisis dengan cara diplomatik,” kata Istana Elysee dalam sebuah pernyataan.
Erdogan menegaskan Turki akan melanjutkan operasi militernya di Suriah jika pasukan Kurdi tidak hengkang dari wilayah perbatasannya selama gencatan senjata berlangsung. “Jika janji-janji yang diberikan kepada negara kami oleh Amerika Serikat (AS) tidak ditepati, kami akan melanjutkan operasi kami dari tempat kami tinggalkan dengan tekad yang lebih besar,” ujarnya.
Kesepakatan gencatan senjata memang tercapai setelah Turki menjalin pembicaraan dengan AS pekan lalu. Kedua negara sepakat memberi waktu 120 jam bagi pasukan Kurdi untuk mengosongkan zona aman sejauh 32 kilometer di wilayah perbatasan Turki-Suriah.
SDF yang menjadi target operasi militer Turki merupakan sekutu utama AS dalam memerangi ISIS di Suriah. Washington memberikan pelatihan dan memasok persenjataan kepada para personel SDF.
Namun Turki memandang SDF, yang memang dipimpin Kurdi, terafiliasi dengan kelompok Unit Perlindungan Rakyat Kurdistan (YPG). Turki menganggap YPG perpanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
PKK adalah kelompok bersenjata Kurdi yang telah melancarkan pemberontakan di Turki tenggara selama lebih dari tiga dekade. Turki telah melabeli YPG dan PKK sebagai kelompok teroris.