REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Pengembangan energi terbarukan internasional diproyeksikan terancam perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina. Dua negara ekonomi terbesar ini sebelumnya diposisikan untuk memimpin dunia untuk memasang pembangkit listrik tenaga angin selama lima tahun ke depan. Tapi, pertempuran tarif membuat rencana ini kemungkinan terhambat.
Dilansir di South China Morning Post, Kamis (24/10), sistem energi dunia berada pada titik kritis. Peningkatan pemanasan global yang diprediksi mencapai 1,5 hingga dua derajat celcius pada 2050 dapat berdampak terhadap ratusan juta lebih nyawa yang terpapar kemiskinan, panas ekstrim dan kekeringan.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mencatat, dalam menghadapi skenario terburuk itu, tenaga angin dan energi terbarukan lainnya perlu memasok listrik 70 sampai 85 persen pada 2050.
IPCC juga menyerukan peningkatan invstasi energi global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Investasi tersebut diperkirakan meningkat tiap tahun menjadi 2,4 triliun dolar AS sampai 2035. Perang dagang yang kini sedang terjadi berpotensi menghambat investasi, termasuk pada investasi energi bersih. Dampak akhirnya, menghambat upaya global untuk melestarikan bumi.
Cina dan AS ditempatkan untuk menjadi pionir dunia dalam memasang pembangkit listrik tenaga angin. Menurut Dewan Energi Angin Global, kedua negara akan mengaplikasikan hampir setengahdari 330 gigawatt kapasitas tenaga angin baru di seluruh dunia pada 2023. Energi terbarukan ini dapat mengurangi emisi karbon dioksida secara dramatis, hingga 50 persen.
Tapi, realisasi dari rencana itu harus terhambat perang dagang. AS menaikkan tarif bea masuk baja dan aluminium dari Cina. Padahal, dua bahan baku tersebut merupakan 90 persen dari komponen turbin angin. Ke depannya, AS juga berencana mengenakan bea masuk terhadap komponen lain seperti generator dan gear box.
Tindakan tersebut memberikan tekanan harga pada rantai pasok turbin angin buatan AS. Asosiasi Energi Angin Amerika mencatat, biaya proyek di AS dapat meningkat 10 persen akibat perang tarif AS dengan Cina. Kondisi ini membahayakan sampai seperempat dari proyek turbin angin pada masa depan.
Apabila perang tarif terus berlangsung, teknologi baru seperti energi terbarukan akan terancam. Sebab, konsumen dan investor akan lebih memilih menggunakan bahan bakar fosil yang tidak ikut terdampak kenaikan bea masuk.