REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – Ekonomi Korea Selatan sangat terpapar dengan perdagangan global yang sedang berlangsung. Angka pertumbuhan terbaru menunjukkan bagaimana perselisihan antara Amerika Serikat (AS) dengan China mempengaruhi kinerja ekonomi Negeri Gingseng ini.
Dilansir di Aljazeera, Kamis (24/10), laporan Bank of Korea (BOK) menyebutkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tumbuh 0,4 persen pada kuartal ketiga 2019. Pencapaian tersebut turun dari kenaikan satu persen pada kuartal kedua. Raihan periode Juli sampai September juga meleset dari perkiraan analis yang memprediksi kenaikan 0,5 persen dalam survei Reuters.
Pertumbuhan ekonomi melambat meski kinerja ekspor menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Penyebabnya, prosepek ekonomi secara keseluruhan yang masih dibayangi perlambatan belanja domestik dan friksi perdagangan global yang kian intensif.
Data terbaru menunjukkan, ekspor Korea Selatan naik 4,1 persen pada kuartal ketiga setelah hanya tumbuh dua persen pada kuartal sebelumnya. Kondisi ini membalikkan kontraksi berturut-turut selama dua kuartal terakhir. Tapi, konsumsi swasta hanya tumbuh 0,1 persen dan belanja konstruksi anjlok 5,2 persen.
Dengan realisasi sampai saat ini, Kepala Strategi di eBest Investment and Securities Yoon Ji-Ho memperkirakan, pertumbuhan Korea Selatan sampai akhir tahun berada di kisaran 1,7 sampai 1,8 persen. "Tapi, mungkin di atas itu karena siklus IT (informasi dan teknologi) global menunjukkan tanda-tanda pemulihan," katanya.
Ekonomi Korea Selatan memang menjadi salah satu yang paling terdampak penurunan permintaan global karena perang tarif berkepanjangan AS dengan Cina. Pertikaian dua ekonomi terbesar dunia ini mengganggu rantai pasokan dunia sekaligus menurunkan kepercayaan bisnis dan investasi. Pertikaian dagang selama berbulan-bulan dengan Jepang turut menambah ketegangan pada eksportir Korea Selatan.
Dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, ekonomi Korea Selatan tumbuh sebesar dua persen. Sehingga, secara rata-rata untuk periode Januari-September, pertumbuhan ekonomi sebesar 1,9 persen. Angka ini turun dari kenaikan 2,6 persen pada periode yang sama di 2018 dan lebih buruk dibandingkan proyeksi bank sentral, yakni tumbuh 2,2 persen sepanjang tahun.
Pasar segera bereaksi terhadap laporan PDB Korea Selatan. Nilai tukar Won sedikit naik, sementara obligasi berjangka dan harga saham turun tipis pada awal pembukaan perdagangan.
Atas kondisi ekonomi saat ini, pemerintah Korea Selatan telah merespon dengan rencana stimulus tambahan 5 miliar dolar AS. Sementara itu, BOK telah memangkas suku bunga dua kali dalam tiga bulan menjadi 1,25 persen, menjadi rekor terendah sejak akhir 2017. BOK masih membuka kemungkinan terhadap pelonggaran kebijakan moneter.
Pada Selasa (21/10), Presiden Korea Selatan Moon Jae-In mendesak parlemen untuk segera menyetujui RUU anggaran pemerintah untuk tahun depan yang mengusulkan peningkatan belanja 9,3 persen dibandingkan tahun ini. Desakan ini seiring dengan keinginan Moon agar kebijakan fiskal memainkan peran utamanya dalam menstabilkan ekonomi.
"Ekonomi global telah memburuk dengan cepat. Ekonomi kami yang sangat bergantung pada perdagangan, juga berada dalam situasi yang sulit," tutur Moon.