Sabtu 26 Oct 2019 09:31 WIB

Demonstrasi Terbaru Irak Telan 40 Korban Jiwa

IHCR menyebut demonstrasi terbaru di Irak menyebabkan 2.000 orang terluka

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengunjuk rasa membawa bendera Irak dalam aksi protes di Baghdad, Irak, Rabu (2/10).
Foto: AP Photo/Hadi Mizban
Pengunjuk rasa membawa bendera Irak dalam aksi protes di Baghdad, Irak, Rabu (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Demonstrasi di Irak kembali pecah dan setidaknya terdapat 40 pengunjuk rasa meninggal dunia pada hari Jumat (25/10). Aksi yang menuntut masalah korupsi dan kesulitan ekonomi ini sempat berhenti sementara selama tiga pekan yang lalu.

Menurut sumber medis dan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Irak (IHCHR), lebih dari 2.000 orang terluka di seluruh negeri.  Korban jiwa berjatuhan ketika pasukan keamanan menggunakan gas air mata dan seorang milisi yang didukung Iran melepaskan tembakan untuk mencoba menahan demonstrasi. Polisi menyatakan, perwira intelijen pemerintah dan anggota milisi Asaib Ahl al-Haq juga tewas dalam bentrokan dengan para pengunjuk rasa di kota Amara.

Baca Juga

Laporan BBC menyatakan, ratusan pengunjuk rasa berkumpul di Lapangan Tahrir Baghdad pada Jumat pagi. Ketika beberapa orang mencoba memasuki Zona Hijau, tempat gedung-gedung pemerintah, pasukan keamanan menggunakan gas air mata untuk mengusir mereka.

IHCHR menyatakan, sebanyak delapan pemrotes meninggal dunia di Baghdad pada Jumat. Paling tidak lima dari mereka adalah pengunjuk rasa yang diserang oleh tabung gas air mata.

Di selatan, setidaknya sembilan pengunjuk rasa meninggal ketika anggota milisi Asaib Ahl al-Haq (AAH) yang didukung Iran menembaki para pengunjuk rasa yang mencoba membakar kantor kelompok di kota Nasiriya. Kemudian, delapan orang tewas di kota Amara, termasuk enam pemrotes, satu anggota AAH dan satu perwira intelijen.

Sebanyak tiga pengunjuk rasa pun meninggal di Basra, wilayah kaya minyak, satu di Hilla, dan satu di Samawa. Sedangkan di kota Diwaniya, kata petugas kamar mayat dan sumber polisi, dua belas pengunjuk rasa tewas setelah terperangkap di sebuah gedung yang terbakar.

Bangunan, yang menampung kantor-kantor lokal Organisasi Badr yang didukung Iran, tampaknya dibakar oleh pengunjuk rasa. Mereka tidak menyadari di dalam bangunan itu terdapat orang yang bisa terbakar pula. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Khalid al-Muhanna mengatakan, sedikitnya 68 anggota pasukan keamanan terluka.

Pertumpahan darah kali ini adalah pertarungan besar kedua dalam kekerasan selama bulan ini. Serangkaian bentrokan dua pekan lalu antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan menewaskan 157 orang dan lebih dari 6.000 lainnya terluka.

Kerusuhan telah menghancurkan hampir dua tahun stabilitas di Irak, yang hidup melalui pendudukan asing, perang saudara, dan pemberontakan ISIS antara tahun 2003 hingga 2017. Demonstrasi besar ini pun menjadi tantangan paling kuat bagi keamanan negara sejak ISIS dapat dipukul mundur.

Demonstrasi yang terkadang disertai kekerasan meletus di Baghdad pada 1 Oktober dan menyebar ke kota-kota selatan. Aksi ini menimbulkan tantangan terbesar bagi Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi sejak menjabat setahun yang lalu. Meskipun menjanjikan reformasi dan memerintahkan perombakan kabinet secara luas, dia masih berjuang untuk mengatasi ketidakpuasan para pemrotes.

"Yang kami inginkan adalah empat hal, pekerjaan, air, listrik, dan keselamatan. Hanya itu yang kami inginkan," kata demonstran Ali Mohammed yang berusia 16 tahun di pusat kota Baghdad Tahrir Square.

Terlepas dari kekayaan minyak dan menjadi anggota OPEC, banyak warga Irak hidup dalam kemiskinan, keterbatasan akses terhadap air bersih, listrik, layanan kesehatan dasar atau pendidikan yang layak.  ketika negara itu berusaha pulih dari konflik dan kesulitan ekonomi selama bertahun-tahun.

Banyak masyarakat Irak percaya elit di pemerintahan tunduk pada satu atau dua sekutu utama, yaitu Amerika Serikat dan Iran. "Mereka memukul kami tadi malam dan lagi pagi ini. Kami tidak memiliki tuntutan lagi, kami ingin pemerintah digulingkan," kata demonstran Salah Mohammad.

Salah menyatakan, masyarakat Irak ingin kedua sekutu pergi dari tanah mereka. Warga memiliki hak untuk memutuskan jalan yang ingin dipilih sendiri, tanpa ada campur tangan dari dua negara tersebut.

Dalam pidato Kamis malam, Abdul Mahdi telah menekankan kekerasan tidak akan ditoleransi. Dia memperingatkan keruntuhan pemerintah akan menyeret Irak ke dalam kekacauan lebih lanjut.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement