REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pengunjuk rasa anti-Pemerintah Hong Kong membakar toko-toko dan melemparkan bom bensin pada Ahad (27/10). Peristiwa ini setelah polisi antihuru-hara menembakkan gas air mata, meriam air, dan peluru karet untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa di hotel depan pelabuhan distrik Tsim Sha Tsui.
Para pengunjuk rasa mengenakan pakaian serba hitam dan topeng wajah yang sebenarnya dilarang melalui pemberlakuan kembali undang-undang era kolonial Inggris. Mereka berkumpul untuk mengecam kebrutalan polisi yang dirasakan selama lebih dari empat bulan.
Para pengunjuk rasa juga menyerukan perlindungan untuk Muslim, dan jurnalis. Protes tersebut sudah memasuki pekan ke-21 yang ditandai dengan peningkatan ejekan verbal terhadap polisi, tetapi tidak dalam skala kekerasan.
“Polisi memperingatkan semua perusuh untuk segera menghentikan semua tindakan ilegal,” kata polisi dalam sebuah pernyataan, seperti yang dilansir dari Reuters, Ahad (27/10).
Namun, peringatan polisi itu tidak berarti pengunjuk rasa membubarkan diri. Sebaliknya, pengunjuk rasa melarikan diri dari meriam air dan kemudian muncul kembali sehingga aksi pun berlanjut sampai malam.
Saat senja, terjadi kebuntuan. Para pengunjuk rasa, turis yang kebingungan, dan orang-orang yang lewat berkumpul di trotoar arteri perbelanjaan dan hotel di Nathan Road. Sebelumnya, tempat itu telah dibersihkan oleh polisi dengan menggunakan tali pengaman.
Saat itu, polisi antihuru-hara berdiri di luar Chungking Mansions, sedangkan para pengunjuk rasa meneriakkan kata-kata kotor dalam bahasa Kanton. Aparat kemudian meninggalkan pengunjuk rasa, pejalan kaki, dan turis untuk mengambil alih jalan.
Namun selanjutnya, satu meriam air ditembakan ke udara dan air jatuh di jalan. Polisi mengatakan para pengunjuk rasa kemudian melemparkan bom bensin di sebuah kantor polisi di Sham Shui Po, bagian barat laut Tsim Sha Tsui, dan membakar toko-toko di Yordania, utara di sepanjang Nathan Road dari pelabuhan.
Pada protes pekan lalu, polisi menembakkan meriam air berwarna biru ke sekelompok kecil orang di luar Masjid Naathan Road. Ini menuai kritik dari beberapa komunitas Muslim.
Seorang pekerja sales, Billy (26 tahun), mengatakan ia datang pada Ahad (27/1) karena marah pada peristiwa penyemprotan masjid pada pekan sebelumnya. “Orang-orang Hong Kong, terlepas dari agama kami, datang ke sini untuk mengatakan tidak pada pemerintah totaliter kami. Saya memiliki sedikit ketakutan karena polisi terkadang tidak terkendali dan mereka mengancam keselamatan rakyat,” kata Billy.
Seorang pensiunan perawat Cindy Chu (65 tahun) mengungkapkan polisi pada masa dulu adalah kekuatan untuk kebaikan. “Ini sangat mudah. Mereka mengganggu orang-orang Hong Kong dan untuk apa? Wewenang apa yang harus mereka lakukan? Hong Kong bukan Cina,” ujar Chu.