Sabtu 26 Oct 2019 17:30 WIB

Malaysia Perkuat AL Hadapi Konflik Laut China Selatan

Mahathir enggan mengambil sikap agresif dan konfrontatif terhadap China.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Kapal penjaga laut Cina berpatroli di Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters
Kapal penjaga laut Cina berpatroli di Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, PUTRA JAYA -- Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdulllah memperingatkan tentang potensi terjadinya konflik di Laut China Selatan. Menurutnya, guna menghadapi kemungkinan itu Angkatan Laut Malaysia perlu diperkuat.

Saat berbicara di hadapan parlemen pada Kamis (25/10), Saifuddin mengatakan kapal penjaga pantai China hadir 24 jam di sekitar Luconia Shoals Selatan di Negara Bagian Serawak. Dia mengungkapkan secara ukuran, kapal Angkatan Laut Malaysia masih kalah dengan kapal China.

Baca Juga

Meskipun tak menginginkan konflik, Saifuddin menilai peralatan militer Malaysia harus ditingkatkan. “Sehingga kita dapat mengelola perairan kita dengan lebih baik jika ada konflik antara kekuatan utama di Laut China Selatan,” ujarnya, dikutip laman South China Morning Post.

Pernyataan Saifuddin jelas berseberangan dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Pada akhir September lalu, Mahathir menyatakan enggan mengambil sikap agresif dan konfrontatif terhadap China terkait sengketa klaim di Laut China Selatan, termasuk dalam dugaan penindasan Muslim Uighur. Menurutnya, Malaysia memang tak memiliki kapasitas melakukan hal tersebut.

Mahathir mengungkapkan, memang terdapat kapal-kapal China yang tanpa izin mengecek perairan Malaysia di wilayah Laut China Selatan untuk gas dan minyak. “Kami menyaksikan apa yang mereka lakukan, kami melaporkan apa yang mereka lakukan, tapi kami tidak mengusir mereka atau mencoba menjadi agresif,” kata Mahathir dalam sebuah wawancara dengan Benar News yang diterbitkan pada 28 September.

Dia mengatakan mungkin karena alasan China pula, Muslim Malaysia tidak terlalu vokal menentang dugaan penindasan terhadap etnis Uighur di Provinsi Xinjiang. “Anda jangan hanya mencoba dan melakukan sesuatu yang akan gagal, jadi lebih baik menemukan beberapa cara lain yang tidak terlalu keras untuk tidak terlalu memusuhi China, karena China juga bermanfaat bagi kita,” ujarnya.

“Tentu saja China adalah mitra dagang besar kami dan Anda tidak ingin melakukan sesuatu yang akan gagal, dan dalam prosesnya, kami juga akan menderita,” kata Mahathir.

Dia mengungkapkan negara-negara Melayu telah berada di dekat China selama 2.000 tahun terakhir. “Kami selamat karena kami tahu bagaimana bersikap. Kami tidak berusaha menjadi agresif ketika kami tidak memiliki kapasitas, jadi kami menggunakan cara lain,” ucapnya.

Malaysia adalah salah satu negara yang terlibat dalam sengketa klaim di Laut China  Selatan. Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Malaysia mengklaim perairan dan dasar laut yang membentang sejauh 200 mil laut dari pantainya. Malaysia juga mengklaim 12 pulau di Kepulauan Spratly dan menempati lima pulau.

Namun, China keberatan dengan sebagian besar klaim Malaysia. Sebab mereka berada dalam nine-dash-line atau sembilan garis putus yang kontroversial, yakni penanda geografis klaim Cina yang membentang sejauh 2.000 kilometer dari daratan China mencapai perairan dekat Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Beijing pun mengklaim seluruh Spratly dan menyatakan Luconia Shoalss dan James Shoal adalah bagian dari Spratly. Meskipun mereka berada di bawah air dan secara hukum bagian dari landasan kontinen Malaysia.

Pada perhelatan KTT Bisnis dan Investasi ASEAN yang digelar di Singapura, November tahun lalu, China dan ASEAN menyepakati draf negosiasi Code of Conduct (COC) atau kode etik di Laur China Selatan. Beijing berharap pembicaraan tentang COC dengan negara-negara ASEAN dapat diselesaikan dalam tiga tahun. China menilai kesepakatan yang tercapai nantinya dapat meningkatkan aktivitas perdagangan bebas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement