REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – China membuang 200,7 juta meter kubik sampah ke wilayah perairan pesisirnya pada 2018. Jumlah tersebut naik 27 persen dibanding tahun sebelumnya dan merupakan yang terbesar dalam setidaknya satu dekade.
Menurut Kementerian Ekologi dan Lingkungan China, mayoritas sampah dibuang di daerah delta sungai Yangtze dan Pearl. Keduanya berada di zona industri utama di pantai timur China.
“Saat ini ada beberapa masalah yang jelas dengan pekerjaan pada lingkungan ekologi laut, dengan beberapa daerah tidak menunjukkan kesadaran atau memberi perhatian yang cukup, serta kurangnya inisiatif dan dedikasi yang kuat,” kata Wakil Direktur Departemen Lingkungan Laut di Kementerian Ekologi dan Lingkungan China Huo Chuanlin pada Selasa (29/10).
Kendati demikian, menurut Huo, kondisi keseluruhan di perairan pesisir China, termasuk perihal air limbah yang mengalir ke laut, membaik. Dia mengklaim China tak dapat disalahkan atas krisis pencemaran laut global.
“China adalah produsen dan pengekspor produk plastik terbesar, menyumbang sekitar 30 persen dari total dunia, tapi itu tidak berarti China adalah negara pencemar laut plastik utama,” ujar Huo.
Dia mengatakan untuk tahun ini negaranya mengalokasikan dana 7 miliar yuan untuk menangani sampah dan limbah. Salah satu lokasi yang hendak dibenahi lingkungannya adalah Teluk Bohai yang merupakan salah satu kanal tersibuk dan terpolusi di China.
China memang berencana membuat sekitar 30 persen perairan pesisirnya terlarang untuk pembangunan. Hal itu merupakan bagian dari skema “garis merah ekologi” nasional. Selain itu, Beijing pun berusaha melindungi sungai-sungai serta lingkungan kota dengan memindahkan industri-industri seperti baja dan petrokimia ke wilayah pantai.
Namun, kelompok dan aktivis lingkungan kerap mengkritik China. Mereka memandang keinginan Beijing untuk melindungi lingkungan tak dibarengi dengan tindakan. Sebab, negara tersebut masih membuang sampah atau limbah ke sungai dan laut.