REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Sedikitnya 14 orang tewas dalam aksi demonstrasi anti-pemerintah di Karbala, Irak, pada Selasa (29/10). Tindakan represif pasukan keamanan turut menyebabkan sekitar 865 korban luka.
Seorang saksi mata, seperti dikutip Aljazirah, mengatakan penembakan terhadap demonstran di Karbala terjadi di area perkemahan tempat mereka berkumpul. Menurut dia, penembakan dilakukan dari sebuah mobil yang melintas.
Setelah kejadian itu, orang-orang bertopeng dan mengenakan pakaian preman berwarna hitam turut datang ke lokasi dan menembaki para pengunjuk rasa. Tenda-tenda pun terbakar.
Gubernur Karbala Nassif al-Khattabi telah membantah bahwa pasukan keamanan Irak melakukan penembakan terhadap demonstran di Karbala. Menurut dia laporan tersebut, termasuk video yang beredar di media sosial, dibuat-buat.
"Pasukan keamanan telah menahan diri sepenuhnya," ujar al-Khattabi dalam sebuah konferensi pers, dikutip laman Anadolu Agency.
Dia justru menuding para pengunjuk rasa yang menyerang pasukan keamanan dengan bom molotov dan senjata. Hal itu menyebabkan beberapa personel terluka.
Keterangan al-Khattabi didukung kepala kepolisian Karbala Ahmed Zweini. Ia mengatakan para demonstran memang melempari pasukan keamanan dengan bom molotov.
Sementara di Baghdad, massa menentang pemberlakuan jam malam oleh pemerintah. Mereka berkumpul di Tahrir Square. Ada pula puluhan demonstran yang berusaha menyeberangi jembatan yang mengarah ke Zona Hijau, yakni tempat gedung-gedung pemerintah berada.
"Tidak untuk jam malam, kami akan tetap di sini. Jam malam adalah salah satu permainan kotor mereka (pemerintah)," ujar salah seorang pengunjuk rasa.
Pakar Timur Tengah sekaligus pendiri Middle East Research Institute Dlawer Ala'aldeen mengungkapkan pemberlakuan jam malam di Baghdad memang bertujuan meredam gelombang demonstrasi. "Jam malam adalah metode pemerintah untuk mempercepat rencananya dengan mengevakuasi area utama dan alun-alun dari demonstran," ujarnya.
Akademisi Irak di Al-Mustansiriyah University Ali al-Nashmi menilai demonstrasi tidak mungkin mereda. Dia berpendapat saat ini pemerintah hanya memiliki sedikit pilihan.
"Tuntutan utama rakyat Irak adalah mengatasi masalah korupsi, untuk (pemerintah) mundur, dan pemilu baru yang digelar," kata al-Nashmi.
Demonstrasi di Irak kembali berlangsung sejak pekan lalu. Massa kembali turun ke jalan setelah jeda hampir tiga pekan. Seperti pada awal Oktober, demonstrasi kembali berujung ricuh. Ratusan orang dilaporkan mengalami luka-luka setelah terlibat bentrok dengan aparat keamanan.
Aksi demonstrasi di Irak pecah pada 1 Oktober lalu. Masyarakat turun ke jalan untuk memprotes permasalahan yang mereka hadapi, seperti meningkatnya pengangguran, akses terhadap layanan dasar, termasuk air dan listrik, yang terbatas serta masifnya praktik korupsi di tubuh pemerintahan. Mereka mendesak Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi mundur dari jabatannya.
Demonstrasi yang berlangsung selama sepekan menelan sekitar 150 korban jiwa. Ribuan lainnya dilaporkan mengalami luka-luka. PBB telah mengecam pasukan keamanan Irak atas banyaknya korban tewas dalam unjuk rasa di sana.
Kala itu militer Irak mengakui bahwa pihaknya telah mengerahkan kekuatan berlebih dalam menangani para demonstran. Mereka mengklaim akan meminta pertanggung jawaban pada perwira komandan terkait hal tersebut.
Merespons banyaknya korban jiwa, Abdul Mahdi mengumumkan hari berkabung nasional selama tiga hari pada 9 Oktober. Sebab, dia mengklaim pemerintah tak pernah memberikan instruksi kepada pasukan keamanan untuk menembang para pengunjuk rasa.