Rabu 30 Oct 2019 09:48 WIB

Protes Cile Kembali Panas

Terjadi pembakaran dan penjarahan di Santiago.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Pengunjuk rasa melempari polisi dengan batu di Santiago, Cile, Selasa (29/10). Protes di Cile telah memasuki hari ke-12.
Foto: AP Photo/Esteban Felix
Pengunjuk rasa melempari polisi dengan batu di Santiago, Cile, Selasa (29/10). Protes di Cile telah memasuki hari ke-12.

REPUBLIKA.CO.ID, SANTIAGO -- Warga Cile turun ke jalan lagi, Selasa (29/10). Ribuan orang menutup jalan-jalan utama sebagai tanda janji-janji reformasi pemerintah gagal dilaksanakan.

Polisi dengan truk lapis baja mengawasi massa yang berkumpul. Malam sebelumnya, para pengacau membuat kerusuhan di dekatnya, menjarah, membakar, dan menabur keresahan di tengah huru-hara dan dengungan suara sirene.

Baca Juga

Api yang membara dari pusat kota semalaman dan gas air mata mengisi udara Santiago sampai Selasa malam. Pekerja kantoran mengenakan masker darurat atau handuk basah di wajah saat menuju dan pulang kerja. Banyak sekolah dan bisnis tetap tutup atau tutup lebih awal.

Siswa sekolah menengah berusia 18 tahun Catalina Barrera mengatakan, pengumuman yang disampaikan Presiden Sebastian Pinera telah meleset dari sasaran. Protes akan berlanjut terus.

"Jika, setelah pawai besar pada Jumat kami tidak mendapatkan apa-apa selain perubahan kabinet di mana mereka terus mencalonkan lebih banyak orang yang sama, maka kekerasan adalah satu-satunya pilihan kami," kata Barrera.

Mahasiswa, serikat pekerja, dan kelompok sosial lainnya telah bergabung dalam protes di Cile dalam jumlah besar, meski tanpa pemimpin atau juru bicara. Partai-partai oposisi yang retak mendukung demonstrasi, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang menghambat negosiasi dengan massa.

Seorang juru bicara Amerika Serikat mengatakan, lembaga hak asasi manusia sangat prihatin dengan kekerasan dan kehancuran. Mereka akan segera mengirim perwakilan ke Cile untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia.

Juru bicara presiden yang baru diangkat Karla Rubilar, mengutuk kekacauan malam sebelumnya. Dia mengatakan, sikap tersebut tidak mencerminkan keinginan mayoritas warga Cile. Ia meminta semua warga Cile, mulai dari pemain sepak bola hingga ikon budaya menolak kerusuhan.

"Kekerasan mengambil alih tuntutan sah dari gerakan sosial," kata Rubilar.

Beberapa hari sebelumnya, lebih dari satu juta warga Cile berkumpul secara damai menentang ketimpangan di Santiago. Aksi protes itu menjadi gerakan terbesar sejak Cile kembali ke demokrasi pada 1990.

Kerusuhan yang terus berlanjut di Cile terjadi setelah kerusuhan, pembakaran, dan protes selama sepekan atas ketidaksetaraan yang mengakibatkan sedikitnya 18 orang tewas dan 7.000 orang ditangkap. Industri bisnis kehilangan lebih dari 1,4 miliar dolar dan  metro kota menderita kerusakan hampir 400 juta dolar.

"Saya mendukung tujuan ini, tetapi saya tidak suka dengan keadaannya. Pada akhirnya, ini mempengaruhi kita, bukan orang kaya," kata guru sekolah berusia 30 tahun Pilar Zofoli.

Zafoli menyatakan, kekerasan dan penghancuran ruang-ruang publik, serta layanan-layanan yang ada justru merugikan masyarakat. Penghancuran fasilitas membuat hidup kelas pekerja Santiago lebih sulit lagi.

Protes atas kenaikan tarif metro berputar di luar kendali awal bulan ini, mendorong Pinera berjanji menyapu reformasi sosial dan ekonomi dan mengganti kabinetnya. Cile, produsen tembaga terbesar di dunia, telah lama membanggakan salah satu ekonomi pasar bebas paling makmur di Amerika Latin. Namun, harga tembaga yang jatuh dan ketegangan perdagangan global, telah menyeret ekonomi yang bergantung pada ekspor dan mengekspos ketidaksetaraan yang mengakar.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement