Kamis 31 Oct 2019 08:06 WIB

Bagi Jamila, Kematian Baghdadi tak Cukup

Milisi ISIS menembak, memenggal, dan menculik ribuan orang Yazidi.

Lokasi tewasnya pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi yang meledakkan diri bersama tiga anaknya di Suriah.
Foto: VOA
Lokasi tewasnya pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi yang meledakkan diri bersama tiga anaknya di Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Lintar Satria

Baca Juga

Kematian pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi tidak ada artinya bagi Jamila, korban pemerkosaan milisi ISIS, kecuali bila laki-laki yang menculik dan memerkosa perempuan berusia 19 tahun itu dibawa ke pengadilan. Jamila yang tidak bersedia memberi tahu nama panjangnya merupakan salah satu dari ribuan perempuan minoritas Yazidi yang diculik dan diperkosa ISIS setelah kelompok teroris itu menghancurkan desa-desa Yazidi di Irak pada Agustus 2014.

"Bahkan, jika Abu Bakar al-Baghdadi tewas, itu tidak berarti ISIS mati," kata Jamila di luar tenda yang menjadi rumah sementaranya di kamp Sharya, Rabu (30/10).

Kamp Sharya menjadi tempat penampungan masyarakat Yazidi di wilayah Kurdi di Irak. Jamila mengatakan, ia belum merasakan keadilan. "Saya ingin laki-laki yang membawa saya, memerkosa saya, dihadapkan ke pengadilan. Saya ingin suara saya didengar di pengadilan. Saya ingin menghadapi mereka di pengadilan. Tanpa pengadilan yang tepat, kematiannya tidak berarti," kata Jamila.

Pada Ahad (27/10), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kematian Baghdadi. Trump mengatakan, pemimpin ISIS dari tahun 2010 itu meledakkan dirinya saat terpojok dalam operasi yang dilancarkan militer AS di utara Suriah.

Pengikut ISIS terinspirasi dan termotivasi dengan pernyataan Baghdadi yang menganggap Yazidi sebagai orang kafir. Milisi ISIS menembak, memenggal, dan menculik ribuan orang Yazidi dalam sebuah serangan yang PBB sebut sebagai upaya untuk melakukan genosida.

Bersama ribuan perempuan dan anak-anak lainnya, Jamila mengatakan, ia diperbudak oleh milisi ISIS. Ia dan saudarinya ditahan selama lima bulan di Mosul. Ia baru berusia 14 tahun ketika diculik ISIS. Namun, masalahnya tidak sampai di situ saja. Jamila dan saudarinya berhasil melarikan diri ketika penjaga mereka mabuk pakai narkoba.

"Ketika kali pertama kembali, saya mengalami kegelisahan dan masalah psikologi selama dua tahun. Jadi, saya tidak dapat sekolah," kata Jamila.

Sekarang ia tidak bekerja ataupun meneruskan sekolahnya. Kini Jamila hanya menjaga dan merawat ibunya yang tinggal bersamanya di dalam tenda. "Ibu saya tidak berjalan dan punya masalah kesehatan. Jadi, saya harus di sini dan merawatnya karena kakak saya ada di Jerman," katanya.

photo
Pengungsi minoritas Yazidi membeli sayuran di Kamp Sharya di Duhok, Irak, Selasa (29/10).

Bagi Jamila dan pengungsi lainnya, pulang ke Sinjar, Irak utara, bukan pilihan mereka saat ini. Kota itu masih hancur karena ISIS. Selain itu, ada kecurigaan yang mendalam di wilayah yang memiliki beragam etnis tersebut.

"Sinjar benar-benar hancur. Bahkan, jika kami bisa pulang, saya tidak mau karena kami dikelilingi dengan tetangga Arab yang bergabung dengan ISIS pada mulanya dan membantu mereka membunuhi kami," kata Jamila.

Ribuan laki-laki diseret ke pengadilan karena terkait ISIS. Sejauh ini Irak belum mengizinkan saksi memberikan kesaksiannya di persidangan, sesuatu yang menurut pemimpin komunitas dan kelompok hak asasi manusia membuat proses pemulihan masih jauh.

"Sangat disayangkan tidak satu pun korban kekejian ISIS, termasuk perbudakan seksual, dihadirkan ke pengadilan. Sistem peradilan Irak dirancang untuk memperbolehkan negara menggelar balas dendam massal terhadap tersangka, tidak menyediakan pertanggungjawaban kepada korban," kata peneliti Human Right Watch Irak Belkis Wille.

Ada sekitar 17 ribu orang Yazidi di kamp Sharya. Bagi sebagian dari mereka, kematian Baghdadi hanya satu langkah pertama menuju keadilan. Walaupun mereka tetap takut dengan pengikut ISIS yang masih hidup.

Mayan Sinu (25 tahun) dapat memimpikan kehidupan baru setelah ia dan tiga orang anaknya mendapatkan suaka di Australia. Namun, ia juga ingin orang yang menembak suaminya di kaki dan menculiknya dapat di bawa ke pengadilan. Ia tidak pernah lagi melihat suaminya setelah insiden lima tahun yang lalu.

"Saya berharap Baghdadi lebih menderita daripada yang kami alami, dan, ya Tuhan, kami menderita. Saya berharap dia tidak meledakkan dirinya sendiri, jadi dapat membunuhnya dengan tangan saya sendiri," kata Sinu. n reuters ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement