REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Menteri Utama New Delhi Arvind Kejriwal mengatakan polusi udara India telah menjadi gas beracun yang membahayakan. Pihaknya telah mengumumkan bahwa lima juta masker untuk menghindari polusi akan didistribusikan kepada siswa di seluruh ibu kota negara.
Tahun ini pun India memasuki tingkat polusi udara yang tinggi. "Delhi telah berubah menjadi "kamar gas" karena asap dari pembakaran tanaman di negara-negara tetangga," cicit Kejriwal dilansir Aljazirah, Sabtu (2/11).
"Sangat penting bagi kita untuk melindungi diri dari udara beracun ini. Melalui sekolah swasta dan pemerintah, kita telah mulai membagikan 50 ribu masker hari ini. Saya mendesak semua orang Delhi untuk menggunakannya kapan pun dibutuhkan," katanya.
Meski demikian, tidak ada masker yang didistribusikan di Shaurya Sachdeva's Father Angel School di Gautum Nagar. Kejriwal menerima pengumuman itu, dan menambahkan bahwa pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk mengekang meningkatnya tingkat polusi.
"Petasan telah menyebabkan ini. Pemerintah harus menaikkan harga petasan sehingga sangat sedikit orang yang dapat membelinya," kata siswa kelas tujuh yang merujuk pada penggunaannya untuk Diwali, sebuah festival Hindu.
Di beberapa lokasi di seluruh kota, Indeks Kualitas Udara mencapai angka 500, yang dianggap sebagai kategori "darurat parah-plus". Status darurat kesehatan masyarakat juga diumumkan di New Delhi pada Jumat (1/11). Kegiatan konstruksi juga telah dilarang hingga 5 November.
Semua sekolah di ibu kota akan diliburlan hingga 5 November. Para ahli kesehatan mengatakan polusi udara berbahaya telah menjadi masalah serius bagi sekitar 20 juta penduduk.
"Ini adalah situasi yang sangat mengkhawatirkan. Dengan kualitas udara yang di dalam dan di luar rumah, ini memiliki dampak langsung pada kesehatan anak-anak, ibu hamil dan warga lanjut usia," kata Dokter Prashant Saxena, seorang ahli paru di Rumah Sakit Max Smart Super Speciality.
"Ada peningkatan mendadak dalam jumlah pasien yang mengunjungi rumah sakit dengan masalah pernapasan dan kami kekurangan tempat tidur di rumah sakit kami untuk pasien seperti itu," ujarnya menambahkan.
Menjelang memasuki bulan Oktober dan November, kualitas udara New Delhi memang kerap turun ke tingkat yang mengkhawatirkan karena sisa tanaman panen yang terbakar di negara-negara tetangga. Petasan selama Diwali dan polusi dari kendaraan serta kegiatan konstruksi juga berkontribusi terhadap penurunan tingkat polusi udara.
Sebuah studi baru tentang Indeks Kehidupan Kualitas Udara oleh Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago, mengatakan bahwa harapan hidup orang-orang yang tinggal di Dataran Indo-Gangga (terdiri dari negara bagian Bihar, Chandigarh, Delhi, Haryana , Punjab, Uttar Pradesh dan Benggala Barat) telah berkurang hingga tujuh tahun karena kualitas udara yang buruk.
Studi wilayah itu dari 1998 hingga 2016 juga menggarisbawahi bahwa polusi hampir tiga kali lebih mematikan di India utara dibandingkan dengan daerah lain di negara itu. "Saya telah berhenti pergi untuk berjalan pagi dan berlari," kata warga KC Pandey (50 tahun) "Itu terlalu berisiko," ujarnya.
Meski demikian, para ahli mengatakan bahwa Delhi dan Kawasan Ibu Kota Nasional (NCR) perlu berbuat lebih banyak untuk mengatasi masalah tersebut. Kepala Centre for Science and Environment, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di New Delhi, Anumita Roy Chowdhury mengatakan tindakan yang diambil pemerintah sejauh ini telah mengurangi polusi sepanjang tahun, meski levelnya masih sangat tinggi.
"Delhi membutuhkan pemotongan 65 persen lagi untuk memenuhi standar udara bersih dan itu adalah target besar," katanya. Dia juga menyerukan langkah-langkah permanen dari pemerintah.
"Apa yang kami butuhkan adalah transisi besar-besaran ke teknologi bersih dan bahan bakar di semua sektor seperti dalam industri, transportasi, pembangkit listrik di seluruh Delhi dan NCR," kata dia.
Menurutnya warga memerlukan transisi mobilitas besar-besaran yang berarti bahwa perlu memberikan opsi transportasi lain dan transportasi tidak bermotor untuk orang-orang yang membatasi penggunaan kendaraan pribadi. "Yang ketiga adalah bahwa kami membutuhkan perubahan paradigma yang lengkap dalam mengelola limbah kami," tutup Chowdhury.