REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan terdapat beberapa isu yang dibahas dalam KTT ASEAN ke-35 yang dihelat di Bangkok, Thailand. Satu yang paling menonjol atau disorot adalah perihal situasi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
"Rata-rata para pemimpin ASEAN mendorong agar kemajuan dapat terus terjadi. Repatriasi (pengungsi Rohingya) yang sukarela, aman, bermartabat dapat segera dilaksanakan dan ASEAN menyatakan kembali kesiapannya untuk membantu," kata Retno, dalam keterangan pers yang diunggah di akun Youtube Sekretariat Presiden pada Sabtu (2/11).
Dalam konteks ini, ASEAN telah sepakat untuk membentuk gugus tugas ad hoc yang akan memantau pelaksanaan rekomendasi dari Preliminary Need Assessment (PNA) Team. "Maret sudah ada rekomendasi dari PNA, kemudian Oktober kemarin sudah bertemi technical working group dan menghasilkan beberapa prioritas yang akan ditindaklanjuti untuk membantu persiapan repatriasi," kata Retno.
Menurut dia, ASEAN memang perlu memiliki satuan tugas yang dapat memantau secara penuh implementasi rekomendasi PNA. Oleh karena itu para pemimpin ASEAN sudah menyepakati akan dilakukan pendirian ad hoc task force. "Bapak Presiden sudah menyatakan siap memberikan kontribusi agar ad hoc task force dapat segera berdiri," ujarnya.
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Yanghee Lee telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional. “Seluruh situasi di Myanmar harus dirujuk ke ICC atau pengadilan internasional harus dibentuk untuk menjamin keadilan bagi rakyat Myanmar,” ujar Lee saat berbicara dalam sebuah konferensi pers di Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS), pada 23 Oktober lalu.
Situasi di Negara Bagian Rakhine merupakan yang utama. “Saya tetap teguh dalam keyakinan saya bahwa tidak aman bagi pengungsi Rohingya (di Bangladesh) untuk kembali ke Myanmar sampai keadaan mendasar yang mengarah pada pengusiran mereka diperbaiki,” kata Lee.
Dia pun menyerukan penerapan sanksi kepada perusahaan yang dikelola militer serta pejabat Myanmar yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia serius terhadap Rohingya. “Kepentingan ekonomi tidak mesti dikejar dengan mengorbankan hak asasi manusia,” katanya.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional