REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemerintah Cina siap bekerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara untuk menyelesaikan sengketa klaim Laut Cina Selatan. Perdana Menteri Cina Li Keqiang menyampaikan hal tersebut saat menghadiri KTT ASEAN ke-35 di Bangkok, Thailand, Ahad (3/11).
"Kami bersedia bekerja sama dengan ASEAN berdasarkan konsensus yang telah dicapai untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas jangka panjang di Laut Cina Selatan, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan selama tiga tahun," kata Li.
Jadwal yang ditetapkan selama tiga tahun itu merujuk pada pembahasan code of conduct (COC) atau kode perilaku di Laut Cina Selatan antara Cina dan negara anggota ASEAN. Tempo selama tiga tahun disepakati saat ASEAN menghelat konferensi bisnis dan investasi di Singapura pada November 2018.
Saat itu, Li turut menghadiri konferensi tersebut dan telah mengutarakan harapannya agar COC di Laut Cina Selatan dapat selesai dalam waktu tiga tahun. Dia mengatakan, Cina dan negara-negara ASEAN akan mendapat manfaat dalam proses itu. "Hal ini juga akan akan kondusif untuk perdagangan bebas dan terus melayani pihak lain," ujar Li.
Pada Agustus lalu Cina dan ASEAN telah menyepakati suatu draf yang akan menjadi dasar negosiasi tentang COC di Laut Cina Selatan. Kesepakatan tercapai pada pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN yang diselenggarakan di Singapura selaku ketua ASEAN kala itu.
"Saya senang mengumumkan satu lagi tonggak dalam proses COC. AMS (ASEAN Member States/negara anggota ASEAN) dan Cina telah tiba di draf teks negosiasi COC tunggal yang akan menjadi dokumen hidup dan dasar negosiasi COC di masa depan," ujar Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan.
Balakrishnan mengatakan, draf tersebut disepakati pada Juni ketika kedua belah pihak mengadakan pembicaraan di Changsha di Provinsi Hunan, Cina. Meski draf telah disepakati, tak menutup kemungkinan dokumen itu akan disunting atau diperbarui lagi.
Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menyambut tercapainya kesepakatan draf negosiasi COC Laut Cina Selatan. Menurut dia, hal tersebut merupakan kabar baik dan perkembangan besar. "Selama kita dapat menghilangkan gangguan eksternal, negosiasi dapat dipercepat," kata Wang.
Citra satelit terbaru menunjukkan pembangunan hanggar militer di Karang Subi, Laut Cina Selatan, oleh Cina.
Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan strategis yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Cina mengklaim, hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya. Namun, hal itu ditentang oleh negara-negara ASEAN. Aksi saling klaim sempat menimbulkan ketegangan dan berpotensi memicu konflik.
Menurut Wang, COC akan membantu membuat situasi di Laut Cina Selatan lebih stabil. Ini memungkinkan negara-negara yang berkepentingan lebih efektif mengelola dan mengendalikan perselisihan dan memfasilitasi kerja sama di antara berbagai pihak.
Kebebasan navigasi dan penerbangan akan lebih terjaga. Selain itu, hak dan kepentingan negara-negara nonregional yang sah juga akan terlindungi.
Mitra senior Institut Keamanan dan Studi Internasional di Chulalongkorn University yang berbasis di Bangkok, Kavi Chongkittavorn, mengatakan, Cina dan negara-negara ASEAN berfokus pada bidang-bidang praktis yang akan membangun rasa saling percaya dan memperluas kerja sama maritim. "Misalnya, pelestarian dan perlindungan lingkungan maritim," kata Kavi, seperti dikutip dari Xinhua.com.
Cina dan negara-negara ASEAN pernah mengadakan latihan maritim dua kali. Secara aktif, mereka membahas pelembagaan latihan-latihan maritim dan pertemuan-pertemuan antara para menteri pertahanan.
Penasihat utama Pusat Penelitian Pasifik Malaysia, Oh Ei Sun, mengatakan, latihan bersama antara Cina dan negara-negara ASEAN harus memprioritaskan bidang-bidang, seperti antipembajakan dan antiterorisme. "Bagi banyak negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Filipina, akan sangat penting," kata dia.
Para menteri luar negeri Cina dan negara-negara ASEAN juga mencapai konsensus di Bangkok untuk mengeksplorasi bidang kerja sama baru, termasuk niaga elektronik, inovasi ilmiah dan teknologi, jaringan 5G, dan kota cerdas. n kamran dikarma/reuters / ed: qommarria rostanti